Selasa, 17 Maret 2015

Cerpen Jola-Joli Dari Cikini di Majalah Hai

Cerpen Jola-Joli Dari Cikini mejeng di Majalah Hai edisi 11 tanggal 16-22 Maret 2015


JOLA-JOLI DARI CIKINI
Cerpen Setiyo Bardono
===============================================================
Jemari Panji asyik berselancar di permukaan layar telepon genggam. Percakapan di grup WhatsApp (WA):  Train to School  membuat Panji lupa diri. Saat itu tubuhnya bersandar di dekat pintu kereta rel listrik (KRL). Area yang membutuhkan kewaspadaan ekstra.
Sepasang daun pintu kereta melakukan percobaan penutupan. Seperti biasa, pintu kembali terbuka sebentar sebelum mengatup sempurna. Itulah isyarat yang hendak disampaikan pintu kepada kereta sebelum beranjak meninggalkan stasiun.
Jika sigap, seseorang masih bisa memanfaatkan celah waktu saat pintu menutup untuk menyelinap masuk atau keluar ke dalam kereta. Penumpang yang baru sampai di stasiun dan tak mau menunggu kereta berikutnya. Penumpang yang terlena, kemudian sadar kalau KRL sudah sampai di stasiun tujuan. Ada juga seseorang yang sengaja mengincar kesempatan untuk keluar sambil menyambar.
"Jambret! Jambret!"
Seisi kereta mendadak heboh mendengar teriakan Panji. Telepon genggamnya seketika berpindah tangan. Berbagai reaksi, teriakan dan celotehan memenuhi sekujur kereta. Rupanya ada sepasang mata yang jeli mengamati gerak-gerik Panji. Pasti mata itu berbinar-binar menatap smartphone kinclong di tangannya. Begitu kesempatan tiba, tangannya bergerak menyambar ponsel Panji dan menyelinap keluar. Panji pun reflek mengejar.
Heks! Daun pintu kereta menggencet tubuhnya seperti tempe penyet. Ia berharap semoga tak ada tulang rusuknya yang patah. Namun kondisi pintu yang terganjal membuat kereta mengurungkan niat untuk beranjak. Sesuai prosedur keselamatan, jika pintu tak tertutup sempurna, kereta tak akan diberangkatkan.
Pintu kereta mengendurkan cengkeramannya. Panji bergegas mengejar penjambret yang kabur secepat babi ngepet. Pejambret pasti sudah mencapai ujung rangkaian dan meloncat dari lantai peron ke rel kereta. Di jalur penuh bebatuan penjambret akan berlari kencang menghindari kejaran. Tengah hari bolong begini, kondisi stasiun Depok sepi.
Sampai ujung peron, dengan nafas terengah, Panji terperangah. Ia mengucek mata, seakan tak percaya. Di atas rel kereta, nampak seseorang sedang berkelahi menaklukkan penjambret. Bukan penumpang lelaki atau satpam stasiun, tapi seorang gadis berambut panjang. Dari gerakannya, terlihat kalau gadis itu memiliki ilmu beladiri.
Beberapa penumpang berdatangan memenuhi ujung peron. Semua berdecak kagum melihat ketangguhan gadis itu. Dalam sekejap, penjambret berhasil diringkusnya. Dua orang satpam berlarian menghampiri TKP (Tempat Kejadian Peringkusan). Penjambret langsung diseret menuju stasiun, diiringi teriakan dan caci maki.
Di ruang satpam, Panji dan gadis itu dimintai keterangan. Panji jadi tahu siapa pahlawan penolongnya. Gadis jagoan itu bernama Juleha, anak Cikini, siswi kelas 3 SMA Perjuangan di Pasar Minggu. Berarti tak jauh dari sekolahnya di SMK Generasi Bangsa, dekat stasiun Lenteng Agung.
Sebagai penggemar berat kereta, rupanya Juleha sedang hunting foto di stasiun Depok. Saat sedang mencari obyek yang menarik, ia melihat ada lelaki berlari kencang diiringi teriakan, “Jambret…”. Juleha langsung mengejarnya hingga terjadi perkelahian.
“Terima kasih ya. Kalau tidak ada Juleha, entah bagaimana nasib hape saya.”
“Makanya hati-hati kalau mainan hape di kereta,” jawab Juleha dengan cueknya.
Panji garuk-garuk kepala. Ia sempat keder berada di dekat Juleha. Tapi setelah mencuri-curi pandang, ternyata Juleha cantik juga. Panji merasa ada desir aneh di dalam hatinya. Sepertinya ia telah jatuh cinta pada pandangan kereta.
--- oOo ---

Panji tak henti menciumi ponsel-nya. Hampir saja tangan jambret memisahkan kebersamaan yang baru terjalin dua mingguan. Untung saja, ada supergirl yang datang menolongnya. Oh, Juleha gadis cantik dari Cikini, kenapa bayang wajahmu tak bisa hilang dari hati.
Panji menatap langit-langit kamarnya. Peristiwa siang ini telah mempertemukannya dengan bidadari pujaan hati. Ah, mengapa tadi ia tak menanyakan nomer telepon Juleha. Ternyata kecantikan Juleha telah menyihir pikiran. Jalan satu-satunya, ia harus menanyakannya pada kepala satpam stasiun Depok.
Panji membuka akun facebook-nya, ia ingin sekali curhat masalah kecopetan tadi di grup krlmania. Ternyata sudah ada member yang menggunggah foto seorang lelaki berdiri di Stasiun Manggarai. Orang tersebut bertelanjang dada, hanya memakai celana kolor dan berkalung kardus dengan tulisan: SAYA COPET!
Panji sepertinya mengenali sosok lelaki yang dipajang dan menjadi tontonan gratis. Tak salah lagi, lelaki ini yang telah menjambret telepon genggamnya. Keterangan foto menguatkan dugaannya. Syukurin! Penjahat seperti dia memang harus dikasih pelajaran.
Tapi dalam foto itu tak ada keterangan kalau yang meringkus penjambret itu seorang siswi SMA. Ah, biar saja, nanti kalau ketahuan bisa-bisa jadi banyak saingan yang mendekati Juleha. Tapi apakah ia punya nyali?
Panji terus membaca komentar yang bermunculan. Tiba-tiba matanya terpaku pada akun bernama Fjola Imoet. Foto profilnya menampilkan raut muka seorang gadis. Sayang ada rambut hitam panjang tergerai yang sengaja diatur menutupi sebagian wajah. Walau begitu Panji merasa pernah melihat senyuman sang gadis.
Komentar yang pedas dan sedikit sadis menguatkan keyakinan Panji untuk menelusuri si pemilik akun. “Badan masih kekar gitu, cari kek kerjaan yang halal buat kasih makan anak istri. Masih untung hanya dipajang doang, coba kalau digebukin atau dibakar massa.”
Beberapa keterangan dalam profil akun Fjola Imoet memiliki kesamaan data dengan Juleha. Mereka sama-sama siswi SMA Perjuangan. Hobinya sama: hunting foto kereta. Berambut panjang juga. Dalam beberapa pose fotonya, walau tersamar Panji yakin bahwa Fjola tak lain adalah Juleha.
Dengan mantap Panji memberanikan diri mengajukan permintaan pertemanan. “Aku yakin kamu Juleha yang menolongku dari jambret di stasiun Depok. Mungkinkah kita bisa berteman?”
Tak disangka, respon pemilik akun sangat cepat. Dalam sekejap, pertemanannya diterima, dengan jawaban lumayan sinis.
Fjola: “Terus kalau sudah berteman mau apa?”
Panji: “Ya barangkali saya bisa berteman lebih dekat. O iya, Panji perlu mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.
Fjola: “Tadi kan udah terima kasih. Pake siaran ulang kayak FTV.”
Panji: “Galak amat! Eh panggilnya Jola apa Juleha sih.”
Fjola: “Terserah! Mau Juleha, Jola atau Joli, asal jangan Bang Jali aja.”
Panji tersenyum, ternyata Juleha bisa juga bercanda. Seketika Panji teringat lagu Jali-Jali dari Betawi.
Ini dia si Jola-Joli. Wajahnya cantik wajahnya cantik menarik hati.
--- oOo ---

Walau sudah cukup lama menjalin pertemanan, hubungan Panji dan Juleha belum mengalami perkembangan signifikan. Beberapa kali Panji melakukan pendekatan dengan mengirim puisi dan kata-kata indah, namun ditanggapi dingin-dingin saja. Permintaannya untuk bisa bertandang ke rumah Juleha selalu mendapat penolakan halus. Mau menyantroni SMA Perjuangan, Panji tak punya nyali.
Pencapaian terbaik Panji baru dalam tahap menemani Juleha hunting foto di Stasiun Cilebut. Tapi Panji hanya bisa melihat Juleha asyik dengan kameranya, membidik stasiun dan KRL yang melintas. Saat istirahat di Warung Bakso Cinta depan stasiun Cilebut, sebenarnya ada kesempatan untuk mengungkapkan isi hati. Namun, entah mengapa lidah Panji kaku seperti kanebo kering.
Malam semakin matang, namun Panji tak juga bisa memejamkan mata. Pikirannya terus terbayang-bayang pesona Juleha, yang trengginas seperti Angelina Joli. Sepertinya benar kata Fahmi, sahabatnya, “Juleha itu bukan gadis sembarangan, jadi harus didekati dengan cara istimewa. Kalau cara-cara biasa pasti tidak akan diterima.”
Panji tersenyum. Sebuah ide cemerlang melintas di kepalanya. Tiba-tiba Panji tak sabar ingin lekas melihat matahari pagi.
Jola Joli dari Cikini sayang. Jola Joli dari Cikini, aku tak menyerah sampai di sini
Sepulang sekolah, Panji mengajak Fahmi menuju stasiun Manggarai. Sebenarnya Fahmi tidak setuju dengan rencana gilanya. Tapi sebagai sahabat sejati, ia terpaksa menemani.
“Cinta memang gila,” ujar Fahmi.
Di keramaian Stasiun Manggarai, Panji bergerak cepat untuk melaksanakan prosesi pernyataan cinta tak biasa. Sebelumnya ia membisiki petugas keamanan stasiun agar rencananya berjalan lancar. Petugas keamanan hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. Walau sempat menimbulkan sedikit keriuhan, rencana itu berjalan dengan baik.
Panji tersenyum puas saat menatap layar telepon genggamnya. Dengan beberapa sentuhan, ungkapan cintanya pada Juleha meluncur deras menerobos ruang maya. Panji tidak bisa membayangkan ekspresi Juleha saat membuka akun facebook-nya. Gadis itu akan mendapati sebuah gambar terpampang di linimasa.
Foto Panji berdiri di peron stasiun Manggarai dengan leher berkalung karton bertuliskan: “IJINKAN SAYA MENCOPET HATIMU JULEHA.”
--- oOo ---
Depok, 12 Januari 2015
*Setiyo Bardono, TRAINer kelahiran Purworejo 15 Oktober, penulis buku antologi puisi “Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta” dan novel kereta “Separuh Kaku.”
Telpon: 0812 9384 1145
Email: setiakata@yahoo.com




Selasa, 03 Maret 2015

Cermin: Catatan Kecil dari Ibu

Nak, hati-hati hidup di ibukota. Carilah rejeki yang halal. Jangan lupa sholat lima waktu. Doa ibu selalu menyertaimu.

Mataku berkaca-kaca membaca tulisan tangan yang kukenali sebagai goresan tangan ibu. Tak henti kupandangi selembar foto hitam putih. Walaupun kusam, namun senyum ibu jelas tergambar
.
Suasana ujung peron stasiun Depok seketika terasa asing. Aku kembali meneliti isi dompet, mencoba mencari jejak masa lalu. Namun tak kutemukan apa-apa.

Kembali kubaca catatan dari ibu yang datang dengan cara tak terduga. Sebelumnya, di sesak Commuterline, tanganku bertindak sigap. Tas seorang perempuan kusilet, merogohnya dan meraba dompet.

Tak kusangka, dompet itu berisi catatan dan foto ibu. Hatiku tak henti mendegupkan tanya: Siapa gerangan perempuan yang kucopet itu?

Depok, 3 Maret 2015
Setiyo Bardono, TRAINer kelahiran Purworejo 15 Oktober. Penulis buku antologi puisi Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012) dan novel Separuh Kaku(Penerbit Senja, 2014).

Senin, 02 Maret 2015

Cermin (Cerita Mini): Tempat Duduk untuk Ibu


Sudah seperempat jam perjalanan, namun ibu belum juga mendapat tempat duduk. Sejak ibu naik Commuterline dari Stasiun Bekasi, aku selalu memantau keadaannya.

Mengapa tak ada satupun penumpang yang terketuk hatinya. Ibu memang belum terlihat seperti nenek-nenek renta. Mungkin itu sebab belum ada penumpang yang mau memberinya tempat duduk. Tapi tidak adakah satupun penumpang yang merasa iba melihat seorang ibu harus berdiri lama di atas kereta?

Kalau saja aku menemaninya, pasti ibu sudah duduk manis. Tapi aku tak bisa berbuat banyak. Langkah kakiku sudah mendekati Stasiun Depok Baru ketika pesan dari ibu menyapa telepon genggamku.

"Pagi ini ibu mau ke Depok. Ibu kangen sama Panji. Sekarang ibu sudah naik angkot, sebentar lagi sampai di stasiun Bekasi."

Begitulah ibu, kalau sudah kangen cucunya, ia tak mau menunggu. Kalau saja ibu mau menunda rencana hingga Sabtu atau Minggu nanti, agar aku bisa menjemputnya atau ayah punya waktu menemaninya. Pasti ayah sudah berusaha mencegah, sebab ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja.

"Ibu hati-hati ya. Jangan lupa nanti turun di Manggarai terus naik KRL jurusan Bogor/Depok di jalur enam."

--- oOo ---

Kereta Commuterline yang membawa ibu sudah sampai di stasiun Jatinegara. Namun nasib baik belum menghampirinya. Belum satupun penumpang yang bermurah hati memberinya tempat duduk. Apakah kepedulian sudah menjadi barang langka di belantara ibukota?

Menjelang stasiun Pasar Minggu, KRL Commuterline yang kunaiki melambatkan lajunya. Ketika hendak menengok keluar, mataku beradu pandang dengan seorang penumpang. Sesosok perempuan seumuran dengan ibu tersenyum kepadaku. Entah sudah berapa lama ibu ini berdiri di depanku.

Di saat aku berharap ada penumpang peduli pada ibu, ternyata aku juga mengabaikan seorang ibu. Seketika kulepas earphone yang menyumpal telingaku. Aku langsung berdiri dan memberikan tempat dudukku padanya.

"Terima kasih, Nak. Semoga Allah membalas kebaikanmu."

Saat aku menganggukkan kepala, telepon genggamku bergetar. Suara ibu terdengar di sela-sela derak kereta.

"Sekarang ibu sudah naik KRL tujuan Bogor. Alhamdulillah, ada yang memberi ibu tempat duduk, seorang lelaki seumuran kamu."

Ibu yang duduk di hadapanku kembali tersenyum. Entah mengapa tiba-tiba mataku terasa basah.

Depok - Cawang, 3 Februari 2015

Setiyo Bardono, TRAINer kelahiran Purworejo 15 Oktober. Penulis buku antologi puisi Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012) dan novel Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).