Kamis, 22 Oktober 2015

Nasib Satwa di Keranjang Belanja

foto: wwf-indonesia
Dalam gelegak minyak terdengar tangis gajah yang terkapar
Dalam renyah gorengan terdengar gemeretak hutan yang terbakar.
Dari dapur dan meja makan ada jerit orangutan yang terusir.
Kalimat pembuka itu mungkin terlalu dramatis. Tapi jika kita menelusuri apa yang kita masak dan konsumsi: darimana asalnya, terbuat dari apa, bagaimana prosesnya, ramah lingkungan atau tidak, dan lain-lain. Kita akan menjumpai sesuatu yang di luar pemikiran kita. Secara tidak langsung, banyak kegiatan di dapur rumah kita merusak lingkungan, serta menggusur dan membunuh kehidupan lain.
Jangan seperti kacang lupa kulitnya atau ulat lupakan daun. Peribahasa itu mengajarkan kita untuk tidak melupakan asal-usul dan orang yang berjasa kepada kita. Begitu juga dalam mencari rejeki. Ajaran agama dan orang tua sering menekankan agar kita mencari rejeki yang halal, baik, dan penuh keberkahan.
Rejeki yang baik itu juga harus dimanfaatkan di jalan yang baik. Begitu juga saat membeli dan mengonsumsi sesuatu. Secara tidak langsung apa yang kita beli dan konsumsi akan berpengaruh terhadap diri kita maupun lingkungan. Barang-barang yang diproduksi tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, akan berpengaruh pada masa depan. Konsumen yang bijak pasti akan membeli produk yang baik.
Jangan sampai saat menikmati renyahnya gorengan, secara tidak sadar kita sudah berperan dalam kematian gajah atau pengusiran orang utan. Mengapa bisa begitu? Diah R. Sulistiowati, Koordinator Kampanye Hutan dan Spesies World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, mengungkapkan 70% kematian gajah disebabkan diracun oleh pemilik kebun sawit. Keberadaan Gajah ini dianggap hama karena memakan umbut atau ujung dari pohon sawit. Jalan pintas yang diambil adalah meracun gajah.
Akibatnya, habitat dan populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) mengalami penurunan drastis. Sekitar 70% habitatnya hilang atau rusak hanya dalam satu generasi sejak 1985. Sebanyak 23 kantong populasi gajah seperti di Lampung dan Riau, mengalami kepunahan lokal pada periode tersebut.
Berdasarkan data Forum Konservasi Gajah Indonesia tahun 2014, dari 56 habitat Gajah Sumatera, 13 diantaranya tak lagi ditemukan alias diduga punah. Status keberadaan gajah di sebelas habitat lainnya dinyatakan kritis dan dua lainnya di ambang kritis.
Penyebab kepunahan gajah dari habitat alaminya itu disinyalir dibunuh atau mati karena ruang geraknya kian menyempit dan kekurangan makanan. Kondisi itu terjadi di enam habitat gajah di Riau, tiga lokasi di Sumatera Selatan, dua lokasi di Jambi, dan masing-masing satu lokasi di Bengkulu dan Sumatera Barat. (Kompas, 18 November 2014)
Persoalan yang menimpa habitat gajah tak jauh berbeda dengan orangutan. Hak hidup mereka di alam bebas telah terenggut dari perubahan fungsi lahan.  Berdasarkan data Indonesia Palm Oil Advocacy Team tahun 2010, sekitar 10 juta hektare lahan di Kalimantan yang merupakan “rumah” bagi orangutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Orangutan berada dalam status konservasi yang sangat terancam. Menurut Lembaga Konservasi Satwa Internasional IUCN, Orangutan Kalimantan dikategorikan spesies berstatus genting (endangered),dan Orangutan Sumatera masuk kategori kritis (critically endangered). Kedua spesies tersebut juga terdaftar dalam Apendiks l dari Konvensi Perdagangan Internasional  Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah/CITES. Artinya, orangutan maupu bagian tubuhnya tidak boleh diperdagangkan di dunia. 
Sebagai konsumen tentunya kita tidak ingin produk yang kita pakai ternyata merusak lingkungan dan menggusur kehidupan binatang. Di sisi lain, produk turunan sawit sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya minyak goreng, produk turunan sawit bisa menjadi bahan baku untuk pembuatan margarine, cokelat, es krim, sabun, lotion, pasta gigi, dan lain-lain.
Menurut Mantan Menteri Perindustrian MS Hidayat, minyak sawit bisa diolah menjadi lebih dari 300 jenis produk turunan untuk segmen pangan, kimia, energi terbarukan, termasuk biodiesel. Sebelum program hilirisasi minyak sawit dijalankan pada 2011, ragam produk hilir minyak sawit yang dihasilkan Indonesia hanya 54 jenis. (Investor Daily, 11 September 2014)
Logo RSPO

Sebelum membeli produk, konsumen sering meneliti suatu produk. Mulai dari harga, tanggal kadaluarsa, kemasan, nomer ijin BPOM RI, serta keberadaan label seperti logo Halal maupun logo Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebagai konsumen yang baik, ada lagi yang harus diperhatikan saat membeli produk minyak sawit yaitu apakah produk tersebut ramah lingkungan atau tidak.
Lalu bagaimana konsumen bisa mengenali produk-produk minyak sawit yang ramah lingkungan (eco-label)? Coba cek di kemasan produk tersebut, apakah sudah tertera logo Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dengan adanya logo ini, dijamin produk-produk minyak sawit yang keluar dari produsen sudah menerapkan praktik sawit berkelanjutan dan tentu saja  aman dari pembunuhan gajah. Selain itu, konsumen bisa memantau di sosial media kampanye  #BeliYangBaik.
RSPO yang berdiri tahun 2004 merupakan asosiasi nirlaba yang berpusat di Zurich. Asosiasi ini berupaya menyatukan berbagai pemangku kepentingan dari  industri kelapa sawit, yaitu produsen, pengolah atau pedagang, produsen produk konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM konservasi lingkungan, dan LSM sosial untuk mengembangkan standar global minyak sawit berkelanjutan.
Praktik produksi minyak sawit berkelanjutan akan membantu mengurangi deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menghargai kehidupan masyarakat pedesaan di negara penghasil minyak sawit. RSPO menjamin tidak ada hutan primer baru atau kawasan bernilai konservasi tinggi yang dikorbankan untuk perkebunan kelapa sawit.
Perusahaan kebun sawit pemegang RSPO akan diaudit berkala, demi menjaga kinerja dan jaminan terhadap pelestarian spesies. Jika ada gajah di dalam kebunnya, mereka menerapkan BMP Gajah (Best Management Practices) dalam penanganannya. RSPO juga melarang anggotanya melakukan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan serta memiliki prosedur operasional standar untuk mengelola resiko kebakaran, seperti disyaratkan dalam Principle & Criteria RSPO.
Dengan menjadi menjadi konsumen yang baik dan cerdas, berarti kita telah berkontribusi dalam penyelamatan hutan tropis Indonesia. Hutan tropis yang merupakan rumah bagi beragam satwa yang diantaranya dalam status terancam punah. Tanpa bantuan konsumen cerdas, mereka akan bertarung sendiri melawan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Kepedulian konsumen dalam memilih produk kelapa sawit berlogo RSPO akan menyadarkan 49% perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum bersertifikat sustainable palm oil. Sumber daya alam yang dikelola tanpa prinsip-prinsip berkelanjutan pada akhirnya akan merugikan kehidupan. Sebagaimana kata bijak dari Mahatma Gandhi, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.
Ternyata saat kita menaruh produk ke dalam keranjang atau troli belanja, ada nasib hutan dan satwa langka yang dipertaruhkan. Karena itu jadilah konsumen bijak dengan #BeliYangBaik. Apakah kita akan membiarkan dapur dan meja makan sebagai ajang perusakan lingkungan, pembantaian gajah dan pengusiran orangutan?

Depok, 22 Oktober 2015

Senin, 19 Oktober 2015

eBook 40 Puisi Perkeli

Bagi rekan2 yang suka puisi, silakan download ebook terbaru karya saya: 40 Puisi Perkeli. Buku untuk mengenang perjalanan KRL Ekonomi.

Sampul ebook 40 Puisi Perkeli