foto: wwf-indonesia |
Dalam
gelegak minyak terdengar tangis gajah yang terkapar
Dalam
renyah gorengan terdengar gemeretak hutan yang terbakar.
Dari
dapur dan meja makan ada jerit orangutan yang terusir.
Kalimat
pembuka itu mungkin terlalu dramatis. Tapi jika kita menelusuri apa yang kita
masak dan konsumsi: darimana asalnya, terbuat dari apa, bagaimana prosesnya,
ramah lingkungan atau tidak, dan lain-lain. Kita akan menjumpai sesuatu yang di
luar pemikiran kita. Secara tidak langsung, banyak kegiatan di dapur rumah kita
merusak lingkungan, serta menggusur dan membunuh kehidupan lain.
Jangan seperti kacang lupa kulitnya
atau ulat lupakan daun. Peribahasa itu mengajarkan
kita untuk tidak melupakan asal-usul dan orang yang berjasa kepada kita. Begitu
juga dalam mencari rejeki. Ajaran agama dan orang tua sering menekankan agar
kita mencari rejeki yang halal, baik, dan penuh keberkahan.
Rejeki
yang baik itu juga harus dimanfaatkan di jalan yang baik. Begitu juga saat membeli
dan mengonsumsi sesuatu. Secara tidak langsung apa yang kita beli dan konsumsi
akan berpengaruh terhadap diri kita maupun lingkungan. Barang-barang yang
diproduksi tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, akan berpengaruh pada
masa depan. Konsumen yang bijak pasti akan membeli produk yang baik.
Jangan
sampai saat menikmati renyahnya gorengan, secara tidak sadar kita sudah
berperan dalam kematian gajah atau pengusiran orang utan. Mengapa bisa begitu?
Diah R. Sulistiowati, Koordinator Kampanye Hutan dan Spesies World Wildlife
Fund (WWF) Indonesia, mengungkapkan 70% kematian gajah disebabkan diracun oleh
pemilik kebun sawit. Keberadaan Gajah ini dianggap hama karena memakan umbut atau
ujung dari pohon sawit. Jalan pintas yang diambil adalah meracun gajah.
Akibatnya,
habitat dan populasi Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumatranus)
mengalami penurunan drastis. Sekitar 70% habitatnya hilang atau rusak hanya
dalam satu generasi sejak 1985. Sebanyak 23 kantong populasi gajah seperti di
Lampung dan Riau, mengalami kepunahan lokal pada periode tersebut.
Berdasarkan data Forum Konservasi
Gajah Indonesia tahun 2014, dari 56 habitat Gajah Sumatera, 13 diantaranya tak
lagi ditemukan alias diduga punah. Status keberadaan gajah di sebelas habitat
lainnya dinyatakan kritis dan dua lainnya di ambang kritis.
Penyebab kepunahan gajah dari
habitat alaminya itu disinyalir dibunuh atau mati karena ruang geraknya kian
menyempit dan kekurangan makanan. Kondisi itu terjadi di enam habitat gajah di
Riau, tiga lokasi di Sumatera Selatan, dua lokasi di Jambi, dan masing-masing
satu lokasi di Bengkulu dan Sumatera Barat. (Kompas, 18
November 2014)
Persoalan
yang menimpa habitat gajah tak jauh berbeda dengan orangutan. Hak hidup mereka
di alam bebas telah terenggut dari perubahan fungsi lahan. Berdasarkan data Indonesia
Palm Oil Advocacy Team tahun
2010, sekitar 10 juta hektare lahan di Kalimantan yang merupakan “rumah” bagi
orangutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Orangutan
berada dalam status konservasi yang sangat terancam. Menurut Lembaga Konservasi
Satwa Internasional IUCN, Orangutan Kalimantan dikategorikan spesies berstatus
genting (endangered),dan Orangutan Sumatera masuk kategori
kritis (critically endangered). Kedua spesies tersebut
juga terdaftar dalam Apendiks l dari Konvensi Perdagangan Internasional
Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah/CITES. Artinya, orangutan maupu bagian
tubuhnya tidak boleh diperdagangkan di dunia.
Sebagai konsumen tentunya kita tidak ingin produk yang
kita pakai ternyata merusak lingkungan dan menggusur kehidupan binatang. Di
sisi lain, produk turunan sawit sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari. Bukan
hanya minyak goreng, produk turunan sawit bisa menjadi bahan baku untuk
pembuatan margarine, cokelat, es krim, sabun, lotion, pasta gigi, dan
lain-lain.
Menurut Mantan Menteri
Perindustrian MS Hidayat, minyak sawit bisa diolah menjadi lebih dari 300 jenis
produk turunan untuk segmen pangan, kimia, energi terbarukan, termasuk
biodiesel. Sebelum program hilirisasi minyak sawit dijalankan pada 2011, ragam
produk hilir minyak sawit yang dihasilkan Indonesia hanya 54 jenis. (Investor
Daily, 11 September 2014)
Logo RSPO
Sebelum membeli produk, konsumen sering meneliti suatu produk.
Mulai dari harga, tanggal kadaluarsa, kemasan, nomer ijin BPOM RI, serta keberadaan label seperti logo
Halal maupun logo Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebagai konsumen yang baik,
ada lagi yang harus diperhatikan saat membeli produk minyak sawit yaitu apakah
produk tersebut ramah lingkungan atau tidak.
Lalu bagaimana konsumen bisa mengenali produk-produk minyak
sawit yang ramah lingkungan (eco-label)? Coba cek di kemasan produk tersebut,
apakah sudah tertera logo Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO). Dengan adanya logo ini, dijamin produk-produk minyak sawit yang keluar
dari produsen sudah menerapkan praktik sawit berkelanjutan dan tentu saja aman dari pembunuhan gajah. Selain itu,
konsumen bisa memantau di sosial media kampanye #BeliYangBaik.
RSPO yang berdiri tahun 2004 merupakan asosiasi
nirlaba yang berpusat di Zurich. Asosiasi ini berupaya menyatukan berbagai
pemangku kepentingan dari industri kelapa sawit, yaitu produsen, pengolah
atau pedagang, produsen produk konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM
konservasi lingkungan, dan LSM sosial untuk mengembangkan standar global minyak
sawit berkelanjutan.
Praktik produksi minyak sawit berkelanjutan akan
membantu mengurangi deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan
menghargai kehidupan masyarakat pedesaan di negara penghasil minyak sawit. RSPO
menjamin tidak ada hutan primer baru atau kawasan bernilai konservasi tinggi
yang dikorbankan untuk perkebunan kelapa sawit.
Perusahaan
kebun sawit pemegang RSPO akan diaudit berkala, demi menjaga kinerja dan
jaminan terhadap pelestarian spesies. Jika ada gajah di dalam kebunnya, mereka
menerapkan BMP Gajah (Best Management
Practices) dalam penanganannya. RSPO juga melarang anggotanya melakukan pembakaran
hutan untuk pembukaan lahan serta memiliki prosedur operasional standar untuk
mengelola resiko kebakaran, seperti disyaratkan dalam Principle & Criteria RSPO.
Dengan menjadi menjadi konsumen yang baik dan cerdas,
berarti kita telah berkontribusi dalam penyelamatan hutan tropis Indonesia.
Hutan tropis yang merupakan rumah bagi beragam satwa yang diantaranya dalam
status terancam punah. Tanpa bantuan konsumen cerdas, mereka akan bertarung
sendiri melawan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Kepedulian konsumen dalam memilih produk kelapa sawit
berlogo RSPO akan menyadarkan 49% perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum
bersertifikat sustainable
palm oil. Sumber daya alam yang dikelola tanpa prinsip-prinsip berkelanjutan pada
akhirnya akan merugikan kehidupan. Sebagaimana
kata bijak dari Mahatma Gandhi, “Bumi ini
cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi
keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.”
Ternyata saat kita menaruh produk ke dalam keranjang atau
troli belanja, ada nasib hutan dan satwa langka yang dipertaruhkan. Karena itu
jadilah konsumen bijak dengan #BeliYangBaik. Apakah kita akan membiarkan dapur dan meja makan
sebagai ajang perusakan lingkungan, pembantaian gajah dan pengusiran orangutan?
Depok, 22 Oktober 2015