Minggu, 10 April 2016

Cerpen: Jangan Tidur di Kereta Listrik


Jangan Tidur di Kereta Listrik - Setiyo Bardono
(Cerpen ini dimuat di Radar Bekasi, edisi 9 April 2016)

“Bangun Mas! Ada ibu hamil"
Aku terperanjat. Suara seseorang terdengar keras menginterupsi lelap. Saat mata terbuka, kudapati dua orang perempuan berdiri di hadapanku. Salah satunya ibu hamil. Seketika aku merasa sangat bersalah.
"Maaf Bu, silakan duduk."
Aku lekas berdiri. Ibu hamil itu segera duduk. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum. Kusapu pandangan ke sekujur kereta. Puluhan pasang mata menatapku tajam. Derak roda kereta rel listrik (KRL) Commuter Line terasa menggetarkan risau di hatiku.
Aku bergeser mencari tempat berdiri yang lebih nyaman di persambungan. Kereta listrik memelankan lajunya. Sebagai penumpang yang tiap hari naik KRL, aku bisa mengenali stasiun tanpa harus membaca papan nama atau menunggu pengumuman. Stasiun Lenteng Agung menyambut kedatangan kereta. Berarti sudah cukup lama aku tertidur.
Sejak aku terlelap di sinyal masuk stasiun Manggarai, kereta sudah melintasi sembilan stasiun. Entah dari stasiun mana ibu hamil itu berdiri di depanku. Mudah-mudahan baru satu atau dua stasiun saja. Ibu hamil itu mengusap perut buncitnya sambil melemparkan seulas senyum ke arahku. Nampaknya ia tahu keresahan yang merajai hati.
Aku menangkupkan kedua telapak tangan di dada sebagai tanda penyesalan dan permintaan maaf. Ibu itu mengangguk dan kembali tersenyum. Aku bernafas lega. Aku berharap senyum itu sebagai sebuah pengertian yang ikhlas dari seorang ibu. Semoga di lain kesempatan aku bisa tetap terjaga saat naik kereta.
--- oOo ---

Parah gan! Ada ibu hamil berdiri, lelaki ini malah tidur pulas di TDP. Dasar lelaki tak tahu diri.
Aku terperanjat saat mengetahui peristiwa memalukan itu terpajang di jejaring sosial. Rupanya ada penumpang yang diam-diam memotretku dan mengunggahnya di grup facebook komunitas penumpang KRL.   
Dalam foto itu, nampak jelas diriku tertidur nyenyak di kursi prioritas dengan mulut setengah terbuka. Parahnya, foto itu terunggah apa adanya. Tak ada upaya memburamkan wajah atau dipotong agar tak tampak bagian kepala.
Di sampingku duduk berjajar seorang anak kecil, ibu separuh baya, dan ibu memangku balita. Sementara, seorang Ibu hamil berdiri di depanku. Di kaca tertempel stiker bertuliskan Tempat Duduk Prioritas (TDP) dengan gambar simbol ibu hamil, ibu membawa balita, manula, dan penyandang disabilitas.
Ratusan komentar bernada sindiran, hujatan, umpatan, dan kalimat kotor lainnya memenuhi layar telepon genggam. Hanya sedikit komentar yang bernada bijak dan menyejukkan. Bibirku gemetar membacanya.
Semakin lama komentar baru bermunculan. Semakin banyak pula yang menyebarkan fotoku. Ah, tak lama lagi seluruh dunia akan mengetahuinya. Sebentar lagi dunia akan menempelkan label di kepalaku sebagai lelaki yang tak peduli pada ibu hamil. Jika besok aku naik KRL, pasti ada banyak penumpang akan mencibirku.
Ingin sekali aku berkomentar, namun jemari tanganku bergetar hebat. Kulempar telepon genggam ke atas bantal. Biasanya sepulang kerja, aku asyik menyelami dunia maya, berbincang dengan pacarku, Nuraini atau bercanda ria teman-teman satu grup di sosial media.
Malam ini, dunia maya terasa kejam dan menakutkan.
--- oOo ---

"Tidur di Kursi Prioritas, Lelaki Muda Tak Peduli Ibu Hamil"
Aku terperanjat membaca artikel di media massa online. Foto yang terpajang sebagai ilustrasi memenuhi layar telepon genggamku. Tanganku gemetar. Mataku tak sanggup menatap kenyataan. Aku terduduk lemas di peron stasiun Depok Baru.
Seorang pria tertidur pulas di KRL Commuter Line. Sementara, seorang ibu hamil berdiri bergelantungan di depannya. Ibu hamil itu pasrah dan tak berusaha membangunkan sang pria.
Foto itu persis sama dengan foto yang ada di grup facebook komunitas penumpang KRL. Mungkin foto itu dicomot dari sana oleh penulis berita. Dalam media online, fotoku juga diunggah apa adanya. Wajahku tidak diburamkan atau dipotong biar tidak kelihatan.
Aku merasa malu menatap foto diri dalam posisi seperti itu. Seumur hidup, ini kali pertama fotoku termuat di media massa. Sayangnya bukan karena kilau prestasi, tapi karena peristiwa yang membuat resah hati. Apa kata orang-orang dekatku kalau mereka membaca berita ini.
Kondisi itu berlangsung hingga seorang ibu menegurnya. Ibu tersebut baru masuk ke dalam kereta di stasiun Tanjung Barat. Pria yang mengenakan kaos putih itu langsung berdiri dan memberikan tempat duduknya.
Tak lama, berita ini pun terunggah di grup facebook komunitas penumpang KRL. Seperti foto sebelumnya, komentar-komentar sadis kembali bermunculan. Mulai dari otak yang pindah ke dengkul, lelaki yang tidak peduli, hingga  lelaki yang lahir dari batu yang layak untuk “Disiram pakai air got.”  Ada juga yang komentar bernada provokatif, “Penumpang tak tahu diri, pantasnya dilempar saja dari atas kereta. Kapok lu masuk koran.”
Komentar pun melebar kemana-mana hingga ada komentar yang merembet ke pemerintahan, “Mungkin pemerintah bisa mengambil kebijakan agar wanita hamil bisa cuti 9 bulan, kasihan kalau di angkutan umum tidak dapat tempat duduk.”
Membaca ratusan komentar bernada menyalahkan dan menghujatku, jemari tanganku kembali bergetar hebat. Aku tak kuasa mengetikkan satu hurufpun untuk membalas komentar. Kemunculanku mungkin juga tidak akan membuat masalah jadi terang. Bisa-bisa aku di-bullly habis-habisan.
Tapi aku bersyukur karena ada yang masih bisa berpikir jernih dan mengajukan pertanyaan kritis. “Kalau ada penumpang tertidur yang ditegur. Jangan cuma bisa motret saja.” Komentar itu ternyata diamini juga oleh pembaca lain: “Iya tuh, kok seisi kereta diam saja nggak ada yang menegur. Berarti sama juga tidak mau peduli.”
Kata orang bijak, selembar foto bercerita lebih dari seribu kata. Benar juga, buktinya selembar fotoku mengundang lebih dari beragam komentar. Padahal peristiwa yang diabadikan dalam selembar foto punya hubungan dengan peristiwa sebelumnya. Tapi bagaimana aku bisa memberi penjelasan pada mereka?
Aku merasa diadili tanpa asas praduga tak bersalah?
--- oOo ---

Aku sama sekali tak menyangka peristiwa sore itu berbuntut panjang. Padahal, tak ada niatan sekalipun dalam hatiku untuk tidak peduli pada ibu hamil. Jika waktu itu aku terjaga, pasti aku akan memberikan tempat duduk pada ibu hamil itu. Namun, derak kereta serupa nina bobok yang membuai mata menyelami kantuk.
Sore itu, aku sengaja pulang selepas ashar agar bisa lekas mengistirahatkan raga dan pikiran. Sehari sebelumnya, pekerjaan menumpuk memaksakku menginap di gudang kantor. Ada banyak berkas dan peralatan yang harus disiapkan untuk acara kantor esok hari. Semalaman aku hanya tidur dua jam saja. Dari pagi hingga siang saat acara berlangsung, aku masih harus wira-wiri untuk berbagai keperluan.
Dari tengah malam hingga dini hari, Nuraini, pacarku beberapa kali mengingatkan agar aku lekas istirahat. "Kalau diturutin, pekerjaan tidak akan ada habisnya. Jaga kesehatan, Mas. Jangan lupa sholat dan makan."
Sore itu suasana kereta rel listrik lumayan lengang. Namun semua kursi sudah terisi oleh penumpang. Satu-satunya celah kosong ada di deretan tempat duduk prioritas. Karena tidak ada ibu hamil, manula, orang tua membawa balita, atau penyandang disabilitas, aku pun mendudukinya.
Apa salahnya duduk di kursi prioritas selagi tidak ada penumpang prioritas yang membutuhkannya? Toh, namanya juga prioritas bukan khusus. Jika di perjalanan ada penumpang prioritas naik, aku akan segera bangun dan mempersilakannya duduk.
Rupanya niat baikku terkalahkan oleh kantuk. Guncangan kereta menghipnotis kesadaranku. Akupun terlelap dalam kereta. Entah berapa stasiun. Entah sudah berapa orang naik dan turun. Hingga suara keras seorang ibu membangunkan, 
“Bangun Mas! Ada ibu hamil"
Sekarang, pembelaan apa yang harus aku lakukan. Jejaring sosial di dunia maya telah menghakimi, tanpa memberi kesempatan bagiku untuk membela diri. Aku seperti orang yang disangka maling, tertangkap digebuki massa tanpa diberi kesempatan untuk bicara. Padahal aku tidak mencuri apa-apa.
Sekarang persoalan yang lebih penting adalah meyakinkan pacarku. Nuraini. Karena aktif di jejaring sosial, Nuraini mengetahui peristiwa itu. Ia menyesalkan sikapku yang tidak mau peduli dengan ibu hamil. Tragisnya, ia langsung minta putus hubungan, dengan alasan, “Kalau sama ibu hamil saja tidak peduli, bagaimana nanti kalau kita menikah dan aku hamil?”
Tak hanya itu, aku juga harus mencari cara bagaimana meyakinkan emak dan saudara-saudaraku di kampung. Entah siapa yang menunjukkan foto itu padanya. Siapa pun, harusnya dia berpikir bagaimana perasaan emak waktu melihat fotoku. Tiga hari sejak peristiwa dimuatnya foto itu, emak menelpon sambil menangis.
“Emak lihat kamu masuk koran pas naik kereta. Lha kok fotonya seperti itu? Emak malu sama tetangga.”
Akhir pekan nanti aku bertekad untuk pulang kampung. Aku harus berbicara dan menyakinkan emak kalau aku tidak salah. Biarlah semua orang menghukum dan menuduhku, yang penting emak percaya kalau aku sama sekali tidak bersalah.
Roda kereta terus berderak tanpa mempedulikan kerisauan hatiku. Aku merapatkan topi dan masker. Semenjak peristiwa itu, topi dan masker menjadi pelindung wajah dari pandangan penumpang kereta. Aku takut ada orang yang mengenaliku sebagai lelaki yang ada dalam foto itu. Lelaki yang tak peduli pada ibu hamil.
Agar kalian tidak mengalami persoalan seperti ini, aku hanya bisa berpesan: “Jangan tidur di kereta listrik!”
--- oOo ---
Depok, 10 Oktober 2015

*SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).