Minggu, 30 Maret 2014

Kisah Kusut di Kereta



Kisah Kusut di Kereta
http://www.jurnas.com/halaman/26/2012-09-30/222120

Cerpen Setiyo Bardono

PESAN PENDEK

Kereta listrik kelas ekonomi dengan jejalan penumpang berderak menjauhi Jakarta. Cuaca sore lumayan cerah mengantar ribuan pekerja pulang menuju pinggiran ibukota.

Tubuhku berjuang menjaga keseimbangan badan dari desakan penumpang. Walaupun seharian beraktivitas, kekuatan penumpang kereta listrik tak pernah pudar. Bahkan kadang lebih dahsyat dari desakan di pagi hari. Begitu menggebunya hasrat orang untuk pulang.

Akhirnya posisi tubuhku terkunci tepat di belakang pasangan yang asyik berangkulan. Tidak peduli keadaan sekitar, seolah kereta hanya milik mereka berdua.

Dalam perkiraan pandangan, lelaki ini berumur sekitar empat puluh tahun. Sementara perempuan yang menyandarkan kepala di bahunya, kurang lebih berumur tiga puluh lima tahun. Rambutnya yang panjang meruapkan aroma wangi.

Pasti mereka adalah pasangan suami-istri yang sangat romantis. Mungkin karena sama-sama bekerja, jadi tidak ada waktu untuk berduaan. Berdua di dalam kereta bisa dimanfaatkan untuk saling berbagi kemesraan dan perhatian. Kalau sudah sampai rumah, pasti urusan dapur dan si kecil begitu menyita perhatian.

Sesekali sang lelaki membisikkan sesuatu. Tak jelas apa yang kemudian mereka perbincangkan. Kondisi kereta yang panas membuat penumpang gaduh dan menghamburkan keluh. Kipas angin di langit-langit kereta, hanya terdiam memandang wajah-wajah yang bercucuran peluh.

Tiba-tiba, perempuan ini menegakkan kepala dan sedikit merenggangkan tubuh. Tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam tas. Tak lama, sebuah telepon genggam menyita perhatiannya. Jemarinya fasih menulis serangkaian pesan. Mataku tidak sengaja ikut membaca rangkaian huruf yang bermunculan.

"Pah, ibu masih di kereta. Baru nyampe Pasar Minggu."

Mataku terkesiap seperti tubuh penumpang atap yang tersengat listrik tegangan tinggi. Pikiran buruk berhamburan seiring gambar amplop terbang pertanda pesan terkirim. Apakah "Pah" kependekan dari "Papah". Apakah pesan pendek itu untuk suaminya yang entah berada di mana? Lalu siapa gerangan lelaki yang berada di sampingnya? Teman kok mesra sekali.

Hembusan angin dari celah jendela seketika menampar kesadaran. Aku tidak boleh berburuk sangka. Bisa saja perempuan ini memanggil ayahnya dengan Papah. Mungkin saja pesan itu untuk Ipah, pembantu rumah tangganya.

Sekarang mataku menduga jawaban apa yang akan menggetarkan telepon genggam. Tapi perempuan ini lebih memilih memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas. Kemudian dia kembali menyandarkan kepalanya pada bahu sang lelaki.
Menjelang Stasiun Universitas Indonesia sang lelaki kembali membisikkan sesuatu. "Hati-hati ya," kata perempuan ini mengiringi langkah sang lelaki menyibak tubuh-tubuh menuju pintu keluar.

Perempuan ini sekarang berdiri sendiri sambil menatap jendela kereta. Langit mulai gelap. Sebentar lagi malam menyergap. Kereta terus berderak tanpa memedulikan tingkah laku penumpang yang berada di perut dan punggungnya.

PIJAT REFLEKSI

Stasiun Depok Lama menjadi salah satu titik awal perjalanan kereta listrik. Dari Depo tak jauh dari Stasiun Depok Lama, kereta datang dalam keadaan kosong melompong. Penumpang yang sudah menunggu kereta di peron berpeluang mendapat tempat duduk. Bagi penumpang kereta listrik, mendapat tempat duduk merupakan kemewahan tersendiri.

Jika menunggu kereta listrik yang datang dari Bogor, mustahil mendapat tempat duduk. Mendapat tempat berdiri di dalam kereta saja sudah lumayan. Apalagi kalau menunggu kereta listrik kelas ekonomi. Kereta datang dengan penuh sesak. Pintu dan atap kereta sudah penuh dengan penumpang. Bisa memasuki kereta butuh siasat, keberuntungan dan kesigapan. Lengah sedikit, secuil kesempatan bisa diserobot orang.

Di lambung kereta pun, perjuangan tak lantas usai. Tubuh harus bertahan menyeimbangkan badan dari desakan penumpang di stasiun berikutnya. Dalam kondisi yang sesak dan panas, penumpang seperti mendapat pengobatan alternatif gratis: mandi sauna, pijat refleksi, bercampur kecut aroma terapi alami. Sebelum sampai di tempat kerja, badan terasa lelah, pegal dan bau naga. Pakaian rapi menjadi kusut.

Sudah lima hari aku terhindar dari kondisi seperti itu. Kereta dari Depo Depok telah menolongku. Walaupun tidak mendapat tempat duduk, aku bisa berdiri nyaman di sudut kereta. Seperti hari sebelumnya, aku masuk ke dalam kereta nomor dua. Kukenali wajah-wajah yang berada di dalam kereta. Jika naik kereta pada waktu yang sama, maka kemungkinan besar kita akan bertemu dengan orang yang sama pula.

Seorang lelaki kulihat duduk di bangku, yang berjarak satu meter dari tempatku berdiri. Seperti hari kemarin, ia sedang menikmati hasil kerja keras berebut tempat duduk dengan penumpang lain. Lelaki itu sudah memulai hari dengan keberuntungan.

Pukul 07.00 WIB, kereta listrik mulai bergerak meninggalkan Depok Lama. Kurang lebih tiga menit perjalanan, kereta mulai melambatkan jalannya. Penumpang di stasiun Depok Baru sudah membentuk pagar betis, berjajar rapi di pinggir peron.

Begitu laju kereta terhenti, puluhan orang langsung menyerbu pintu-pintu. Di dalam kereta, penumpang masih harus berebut mencari posisi. Seorang perempuan dengan napas terengah masuk dan langsung menaruh tas di atas paha lelaki itu. Sepertinya mereka berteman akrab atau mungkin sepasang kekasih.

Lelaki itu mengambil sebuah kursi lipat di dalam tas. Benda kecil itu dibuka dan diletakkannya di lantai kereta. Tanpa menunggu perintah, si perempuan duduk di atas kursi lipat menghadap lelaki itu. Mereka bercakap-cakap sebentar.
Tak lama kemudian, lelaki itu memegang jemari tangan perempuan itu.

Sepertinya mereka memang sepasang kekasih. Aku menjadi tertarik untuk lebih lanjut memperhatikan mereka. Jika seorang lelaki memegang tangan kekasihnya seperti itu, pasti ada hal serius yang akan disampaikannya. Mungkin lelaki itu akan melamar perempuan itu. “Maukah kamu menikah denganku?"

Betapa romantisnya melamar kekasih di tengah kereta yang lumayan penuh dengan penumpang. Pasti akan menjadi momen dramatis tak terlupakan. Sayangnya momen yang kutunggu itu tidak terjadi. Si lelaki itu justru sibuk memijati tangan perempuan itu. Dari caranya memijat terlihat bahwa dia sangat piawai.

Aku juga sering mengalami pijatan ketika kereta sesak. Sikut orang yang berada di belakangku sering menekan punggung. Tapi itu jelas pijatan yang sama sekali tidak mengenakkan. Badan malah menjadi sakit.

Karena adegan lamar-melamar tidak terjadi, aku berharap semoga ada percakapan romantis di antara keduanya yang bisa mewarnai perjalanan pagi ini. Namun, percakapan mereka di luar dugaanku.

“Istrimu sudah sehat?"

“Sudah mendingan. Tapi masih perlu istirahat."

“Oh, syukurlah. Terus entar malam bagaimana. Batal dong nonton filmnya."

“Ya, jadilah, masak dibatalin."

“Sip lah kalau begitu. Kalau besok kan aku nggak bisa. Mas Bramantyo besok sudah pulang dari luar kota."

Percakapan dua insan itu membuat aku terhenyak. Pikiranku sibuk menduga-duga. Sementara, kereta terus berderak, membawa tubuh-tubuh yang di dalamnya memendam beragam kisah.


KAWIN PAKSA

Penumpang berhamburan keluar dari kereta listrik kelas ekonomi yang belum sempat mengatur napasnya seusai merapat di jalur dua Stasiun Depok Lama. Beberapa penumpang masih bertahan di dalam kereta, seolah mengacuhkan peringatan yang menggema di sekujur peron.

"KRL Ekonomi jurusan Tanah Abang yang berada di jalur dua tidak bisa melanjutkan perjalanan karena gangguan teknis. Kepada seluruh penumpang diharap untuk keluar dan menunggu KRL Ekonomi yang akan memasuki jalur satu. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya."

Peron seketika menjadi lautan manusia. Serapah, cacian, ratap pengemis, musik dangdut, teriakan asongan, dan berbagai macam suara menambah kusut suasana. Aku memilih untuk mengambil posisi di dekat jalur satu, menunggu kereta yang akan masuk.

Dari arah selatan, penampakan KRL Ekonomi mulai berderak memasuki jalur satu. Dari kejauhan sudah terlihat bagaimana sesaknya kereta tersebut. Penumpang bergelantungan di pintu-pintu dan memenuhi atap kereta.

Kereta yang padat merayap itu harus siap sedia diserbu lautan penumpang di peron. Kalau satu rangkaian kereta rusak, maka kondisi akan kacau. Penumpang akan kalap menyerbu kereta berikutnya. Tak peduli kelas ekonomi atau kelas lebih tinggi. Kondisi seperti ini diistilahkan penumpang sebagai kawin paksa.

Matahari sudah mulai menyengat, aku harus sigap berebut tempat. Kalau sampai terlambat, uang makan harian bakal melayang. Di saat-saat tanggal tua begini, hal itu tidak boleh terjadi.

Ketika kereta listrik menghentikan lajunya, aku pun bergerak sigap. Tak kupedulikan kesemrawutan arus keluar masuk penumpang. Tubuh rampingku berhasil menyelinap dan beradu cepat dengan penumpang lainnya. Kekuatan besar mendorong tubuhku merangsek hingga jauh ke dalam kereta.

Posisi tubuhku akhirnya terkunci di belakang lelaki bertubuh kekar. Dia seperti tidak memedulikan keadaan sekitar yang sudah seperti pepes ikan teri. Ibu jarinya asyik menjelajahi tombol-tombol telepon genggam. Semula aku tidak memedulikan pesan apa yang ditulisnya. Napasku masih tersengal, posisi berdiri tubuhku belum kokoh benar.

Tapi lambat laut, layar telepon genggam miliknya seperti lembaran koran yang terpampang mata. Sederet pesan yang ditulisnya sangat jelas terbaca.

"Aku menikahinya hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Aku tak pernah mencintainya."

Sebuah jawaban entah dari siapa seketika terbuka, "Memangnya kenapa?"

"Cinta sejatiku hanya untukmu."

"Jangan ungkit masa lalu. Keadaan kita sudah berbeda."

"Sebenarnya ini rahasia, tapi kamu harus tahu."

"Rahasia apa?"

"Pas malam pertama, ternyata istriku sudah tak suci. Aku sangat kecewa."

Kesadaranku seperti tersengat. Segera kualihkan pandangan pada langit-langit kereta. Kipas angin tua terlihat kepayahan mengusir keringat yang membasahi wajah-wajah. Pasti kipas angin itu sudah banyak menjadi saksi berbagai peristiwa di dalam kereta ini.

Ketika pandanganku kembali ke arah depan, percakapan di layar telepon sepertinya sudah usai. Kulihat lelaki itu menatap wallpaper telepon genggamnya. Seketika mataku terpaku menatap wajah anak kecil bermata bening yang sedang terkekeh lucu.

Roda kereta terus bergerak, mengantar tubuh-tubuh yang menggantungkan nasib pada kerasnya kehidupan ibukota.
------------------------------------------
Setiyo Bardono, lahir di Purworejo, 15 Oktober 1975. Beberapa cerpennya dipublikasikan di Femina, Sinar Harapan, Tribun Kaltim, Harian Seputar Indonesia, Story Magazine, Aneka Yes, kompas.com, krlmania.com, kabar-indonesia.com, dan Depokmetro.com.

Jumat, 14 Maret 2014

HASTAKRETA (Delapan Pedoman Kepemimpinan ala Kereta)

HASTAKRETA 
Delapan Pedoman Kepemimpinan ala Kereta
Puisi Setiyo Bardono


Kereta 1
: matahari

Lajumu, terang menyibak kegalauan,
rambatkan semangat menelusuri kehidupan.
Terikmu, bukan tikam mematikan,
pijar menanak pucuk harapan.

Membakar diri hanguskan amarah
di lubuk memetik terang wajah.
Meredam riuh hening makna,
mencapai tujuan tanpa siksa.



Kereta 2
: rembulan

Menganyam nyaman lembut cahaya,
keindahan pandang kedamaian rasa.
Membagi terang sepenuh hati,
mengusir risau di gelap nadi.

Riuh rahim mendamba kehangatan,
nyalakan kasih sepanjang perjalanan.
Jangan biarkan gerhana meraja,
hadirkan cinta seterang purnama.

Kereta 3
: angin

Setia merasuki helaan nafas,
darma tiada kenal tuntas.
Mengalirkan sejuk ke rongga dada,
menghalau resah denyut kereta.

Tak teraba mengalir ada,
tak berupa semilir terasa.
Menyeka peluh segala kasta,
sebelum keluh menjadi kata.

Kereta 4
: bumi

Pintu hatimu kesabaran ibu,
merangkum semua tanpa menggerutu.
Ketulusan kasih hangat menjaga,
desah nafas seisi rahimnya.

Tanpa sanjungan teguh bekerja,
tanpa perhatian kukuh langkahnya.
Walau umpat mendera raga,
tekun melaju tebarkan cinta.

Kereta 5
: bintang

Seterang bintang penunjuk arah
menuntun laju di jalur terarah.
Secercah cahaya di luas angkasa
teladan hidup pedoman jiwa.

Penuntun arah cemerlang bintang,
selempang rel tiada menyimpang.
Taburkan bintang di rongga dadamu,
ketika gelap menyesatkan laju.

Kereta 6
: samudera

Gua garbamu seluas samudera,
aliran keluh kesah bermuara.
Selembut kasih ikhlas menerima,
menjadi wadah segala rupa.

Walau gelombang berderak membuncah,
janganlah tumpah menjadi amarah.
Ketika rindu menyesaki pesisir,
pastikan senyummu hadir mengalir.

Kereta 7
: api

Menjaga gelora nyala api,
jangan sampai terbakar diri.
Pastikan kobar menempa besi,
memahat jalur arah kendali.

Jangan pernah semangat padam,
membiarkan tubuh disergap muram.
Ketika laju dikuasai nafsu,
gerbong keyakinan menyerpih abu.

Kereta 8
: langit

Mengandung benih segala cuaca,
memayungi hajat hidup semesta.
Terang lengkungkan senyuman indah,
hujan merintihkan luapan berkah.

Ketika petir menyambar sinyal,
tetapkan langkah walau tersengal,
Melakoni manis getir kenyataan,
keadilan hukum harus dikucurkan.

Jumat, 07 Maret 2014

Celana Jojon

Celana Jojon
Puisi Setiyo Bardono

Di stasiun tua, juru tawa menggumamkan kata, "kasihan kereta, mondar-mandir tanpa celana."

Juru tawa menyerahkan celananya pada kereta, "Pakailah celanaku, agar bahagia hidupmu."

Hidup tanpa celana, bagai taman tak berbunga, Oh begitulah kata juru tawa. 

Tanpa celana, juru tawa meninggalkan kereta, "Maaf, aku ada panggilan melawak ke Surga."

Kereta mencoba celana juru tawa. "Baru kali ini ada celana yang pas," katanya sambil bergaya. 

Sepanjang jalan, kereta tersenyum bahagia. Ia terkenang celana masa kecilnya yang hilang entah kemana.

Kerinci, 7 Maret 2014

Selasa, 04 Maret 2014

Kamus Bahasa


Kamus Bahasa
Puisi Setiyo Bardono

Menyusuri lorong gerbong, lelaki tua tak lelah membopong tumpukan kamus beragam bahasa.

Ia bermimpi tubuh kereta tak hanya dipenuhi makian, sebab ada bermilyar pilihan kata.

Tapi ia ragu karena hanya sedikit orang yang menghentikan langkahnya, sekedar bertanya atau menawar dengan harga rendah.

Depok Lama, 20 September 2011

Celana di Atap Kereta


(Raden Mas Brandjangan membaca puisi Celana di Atap Kereta 
di Panggung Sastra Reboan - Warung Apresiasi Sastra Bulungan, Blok M, Jakarta)
------------------------------------------------------------------------------------

Celana di Atap Kereta
Puisi Setiyo Bardono

Di basah persendian kereta, engkau tak kuasa menahan bocoran air mata.

"Bagaimana cara menghalau hujan?" isakmu.

"Lemparkan celana ke atap kereta, tapi jangan sampai terkena muka."

Mendengar jawabku seketika rinai tawa jatuh berderai ke lantai kereta.

"Sudah banyak celana berjajar di atap kereta, tapi hujan masih turun jua," sangkalmu.

"Sebab mereka melempar celana beserta isinya. Itu hanya mengundang hujan air mata."

Gondangdia - Depok via Stasiun Kota, 27 September 2010

Senin, 03 Maret 2014

Ayam Desa Masuk Kota

Ayam Desa Masuk Kota

Puisi Setiyo Bardono 

Walau berbagai persoalan deras mendera, jangan menyerah seperti ayam desa yang kehilangan tajinya ketika kereta berderak memasuki kota.

Walau gerbong panas memanggang tubuh, jangan melempem seperti ayam desa yang lunak tulangnya ketika kereta kremes-kremes memasuki kota.

Juanda, 3 April 2010

Minggu, 02 Maret 2014

KEPOMPONG


KEPOMPONG
: Penjelajah Atap Kereta

Puisi Setiyo Bardono

Sebotol cairan sari kepompong menyiram geliat ulat bulu,
sekejap menjelma aneka warna kupu‐kupu.

Kepak amarah berhamburan dari pucuk kereta,
menerbangkan batu‐batu pecahkan bening kaca.

“Kalian selalu memaksa kami terbang,
sementara tak tersedia taman lapang.”

Depok Lama, 26 Mei 2011

Tabah Dalam Perjalanan


Tabah Dalam Perjalanan

Puisi Setiyo Bardono

Di rahim kereta, seorang ibu berdiri terguncang, tak henti mengusap perut buncitnya.

"Nak, semoga engkau tidak merasakan guncangan yang ibu rasakan. Lelaplah engkau dalam hangat rahimku."

Di rahim kereta, seorang ibu yang masih juga berdiri terguncang, tak henti mengusap perut buncitnya. Sementara cericit roda kereta menyusupkan ngilu ke segenap sendi kesadarannya.

"Nak, jika kelak engkau dewasa, semoga selalu ada tempat di hatimu untuk ibu, sebagaimana selalu ada tempat di hati ibu untuk anak‐anakku."

Thamrin, 16 Juli 2010


Sabtu, 01 Maret 2014

Salak Pondoh

Salak Pondoh

Puisi Setiyo Bardono

Tangan penuh duri, bisa melindungi dan melukai.

Tak rela anaknya tergores luka,
ibu merajut keringat air mata.

Serupa jalinan atap sirap,
mengayomi penghuni rumah dari angin kalap.

Panen raya mengundang derak kereta,
melelehkan langgam lara.

Usia beranjak dewasa,
saatnya melepas anak mengembara.

Tercerai berai, berpondoh‐pondoh menuju kota.
Seorang diri atau sepasang.
Mengendong beban atau melenggang.

Gerbong‐gerbong seperti menebarkan jala nelayan.
Merangkum segala rasa dalam satu ikatan.
Mengecap kecut, sepet dan manis kehidupan.

Hingga suatu saat,
dalam transaksi pelelangan ikan, nasib akan merengutmu.
Roda kereta menggelindingkan keras hatimu,
menjadi teman setia gumpalan batu.

Depok Lama, 28 Juni 2011

5 Puisi Kereta di Harian Indo Pos




5 Puisi Kereta di Rubrik HariPuisi - Koran Indo Pos, 31 Agustus 2013

KEKASIH KERETA

Puisi Setiyo Bardono

dengan patahan rel yang terlunta di persilangan duka,
ia menggores sepasang larik alis mata.

dengan kepingan cat yang terkelupas di bahu kereta,
ia memulas bibir dan memercikkan rona di pipinya.

bening mata memutarkan binar bersahaja,
ketika cahaya laju merambati lajur alisnya.

ditelan derak, tak henti ia membelai wajah kekasihnya,
seolah ingin mengakrabi retak ngilu di hati jiwanya.

Depok - Gondangdia, 140509
-----------------------------------

KESABARAN IBU

Puisi Setiyo Bardono

setiap kali penantian melumuti peron
aku selalu terkenang nasihat ibu
ketika melepas kepergianku menuju kota

"Belajarlah kesabaran dari kereta."

dan akhirnya aku tahu,
mengapa engkau tak pernah mau
mengantar aku hingga tepian jalan raya
apalagi sampai di gerbang stasiun tua.

ternyata engkau ingin lekas menanak airmata,
sebagai ragu yang terselipi rasa percaya,
sebagaimana gelisah perempuan di separuh jiwa.

setiap kali penantian melumuti peron
aku selalu terkenang kesabaran ibu
yang tak pernah mengenal keluh kata
walau kenakalan terlalu sering sesakkan dada.

setiap kali penantian melumuti peron
kuselipkan wajah ibu di sesak puisiku.

Stasiun Manggarai, 060409
-----------------------------------

RANJANG IBU

Puisi Setiyo Bardono

berderit sekujur lorong rahimmu
disesaki sepasang ranjang bambu

menyibak tubuh-tubuh sepenuh ngilu
kutafsir mimpir buruk di pagi laju

lamat kudengar rintih ibu
terjebak di ruas-ruas bambu

Ada yang meraut harapan diseok langkah
serapi bilah-bilah membaringkan lelah

samar-samar kubaca selarik puisi cinta
meruapkan sesuap pencarian tak kenal tua.

seperti menimang resah tiada terkira,
harusnya ibu lelap dengan senyum bahagia.

Stasiun Depok-Gondangdia, 120509
-----------------------------------

MERAYAPI GELAP

Puisi Setiyo Bardono

tubuhtubuh merayapi gelap kereta
mengendus aroma kayu papan nama
stasiun yang mungkin tidak tertera
di karcis basah terlumat dera

ada yang diamdiam membangun
sarang dari remahremah mimpi
ketika lelah menyergap lamun

kuharap tak ada amuk ayunan sapu
pada sarang yang mengerus kakikaki buku

ibu, anakmu tergagap dalam pencarian makna
terlunta dalam bising riuh pusaran kata.

Stasiun Kota-Gondangdia, 130609
-----------------------------------

PEREMPUAN, AJARI AKU MENAKAR BIMBANG

Puisi Setiyo Bardono

perempuan, berdirilah di pelupuk kantuk
ajari aku menakar bimbang bertumpuk.

biar kubaca lingkar tahun di parasmu,
adakah itu serenta risau di jiwaku.

perempuan, tersenyumlah di pelupuk kantuk
ajari aku menakar bimbang bertumpuk.

biar kueja gurat letih di wajahmu,
adakah itu sekental gulau di hatiku.

perempuan, terkantuklah di pelupuk kantuk
ajari aku menukar bimbang bertumpuk.

biar kutuntun selarik harapan di mimpimu,
menuju tidur yang membangunkan lelapku.

Stasiun Gondangdia-depok, 080109
-----------------------------------

Bukan Asongan Biasa


(Penyair Pratiwi Setyaningrum sedang membacakan puisi Bukan Asongan Biasa di Panggung Sastra Reboan, Warung Apresiasi Sastra Bulungan - Blok M)

Bukan Asongan Biasa
Puisi Setiyo Bardono

Merasa tak bisa membahagiakan dan memenuhi semua permintaan kekasihnya, seorang perempuan yang separuh hidupnya terperangkap dalam kaca, lelaki itu mempertaruhkan pundaknya, memikul beban berat pernak‐pernik yang menghiasi perempuan.

"Dalam keadaan terjepit jangan pernah menyerah, seperti rambut perempuan, ketika terjepit makin indah."

Maka dari peron ke peron, pernak‐pernik yang dijajakannya selalu dikerubuti wanita. Pada saat itu ia merasa bisa membahagiakan perempuan yang dikasihinya.

"Aku bukan asongan biasa. Aku pemuja wanita."

Depok, 25 Juli 2007