Selasa, 26 Mei 2015

Cerpen: Layar Sentuh

Berita digerebeknya sebuah rumah di Sukmajaya Depok yang disinyalir sebagai tempat prostitusi ABG (25/5/2015) mengingatkan pada cerpen saya di Okezone.com 13 Desember 2012

http://news.okezone.com/read/2012/12/13/551/731662/layar-sentuh

DENGAN sentuhan jemari, aku ingin mengenggam warna-warni dunia. Sentuhan pada layar telepon genggam yang mengantarkanku pada denyut percakapan, riuh kata-kata dan keceriaan masa remaja.

Kecanggihan teknologi sepertinya telah berhasil menerjemahkan kekuatan penyihir. Tanpa perlu repot memencet sekian tombol, setiap sentuhan jemari akan diterjemahkan oleh kepekaan sensor kemudian mengantarkan kita pada fitur-fitur penuh keajaiban.
Sayang, kecanggihan benda mungil itu harus ditebus dengan harga mahal.

---oOo---

“Put, hape pakai tunyuk skrin kan harganya satu juta lebih. Ibu tidak punya uang sebanyak itu, Nak.”
Touch screen Bu. Bahasa Indonesianya: layar sentuh.”
“Iya, hape yang harus di-tunyuk-tunyuk itu kan.”
Puteri hanya tersenyum mendengar ibunya menyebut istilah tunyuk skrin. Sebenarnya tak salah juga, karena dalam bahasa daerah kampung halaman ibunya, tunyuk artinya menekan dengan jemari.

“Terserah bagaimana Ibu mau menyebutnya, yang penting belikan Puteri hape layar sentuh.” “Kenapa tidak beli hape biasa saja, yang Rp150 ribu. Itu lho yang sering muncul di iklan-iklan. Sama saja kan, yang penting bisa telpon dan es-em-es.”

Puteri hanya bisa mendesah. Ah, Ibu terlalu sederhana pola pikirnya. Jaman sudah berubah. Fungsi telepon genggam sekarang tidak hanya sekedar buat menelepon dan mengirim pesan pendek. Puteri merasa perlu ikut ambil bagian dalam kehidupan jejaring sosial, memperbarui atau mengomentari status Facebook dan Twitter, chatting, dan menjelajah dunia maya. Bagaimana menerangkan istilah-istilah asing ini pada ibunya yang cuma penjual gado-gado?

Belum lagi fasilitas yang memanjakan mata dan telinga seperti memutar video atau musik, mendengarkan radio, bahkan menonton televisi. Dalam benda mungil itu pun tersedia aneka permainan penguji ketangkasan tangan maupun ketajaman pikiran. Seakan segenap denyut kehidupan tersaji dalam genggaman.

Untuk memenuhi hasrat narsis yang diam-diam menghuni benak generasi bangsa, kehadiran kamera dengan resolusi sekian Megapiksel tentu saja sangat dibutuhkan.  Momen-momen penting masa remaja harus ditampung dalam ingatan yang besar. Memori internal tak cukup banyak menyediakan ruang. Seperti kapasitas otak manusia yang terbatas, hingga diperlukan buku-buku, kamus, ensiklopedia, atau catatan-catatan untuk memperluas ingatan.

Karena itu, benda mungil itu perlu disusupi memori eksternal dengan kapasitas sekian giga, agar setiap foto kenangan bisa mendekam dengan tenang. Begitu juga dengan koleksi ratusan musik yang tak usah terusik, hingga hari-hari menjadi asyik. Serupa rumah besar yang siap menampung aneka perabotan. Tak seperti sempit ruangan di rumah kontrakan tempat Puteri dan ibunya tinggal.

Teknologi canggih ternyata tidak melupakan naluri manusia untuk saling berbagi. Maka tertanamlah perangkat bluetooth, yang memungkinkan kita berbagi foto atau musik tanpa perlu sambungan kabel. Dunia terasa ringkas dalam genggaman.

Fitur-fitur itu akan semakin mempesona ketika kita hanya perlu menyentuh layar untuk mengoperasikannya. Seperti nenek sihir hanya perlu mengacungkan tongkat untuk mewujudkan keinginannya. Seperti kekuatan sosok alien dalam film lawas tapi tetap memukau, The Extra-Terrestrial, yang ditonton di rumah Shinta sahabatnya. Hanya dengan sentuhan jemari, makhluk luar angkasa itu bisa mengalirkan kekuatan dasyat.

Dengan menggenggam telepon genggam layar sentuh, tentunya Puteri akan lebih percaya diri bergaul dengan teman-temannya yang rata-rata memegang telepon genggam keren. Kalau memegang telepon genggam biasa seharga dua ratus ribuan, tentu ia tidak akan berani mengeluarkannya dari dalam tas. Bisa-bisa seluruh sekolah akan mengejeknya habis-habisan.

Tapi Puteri tidak bisa berharap banyak dari ibunya. Keuntungan dari hasil mengulek dan meracik gado-gado hanya cukup untuk menghidupi mereka berdua. Sebenarnya kerja keras ibunya sudah sangat hebat, karena sampai sekarang ia tidak pernah sekalipun menunggak pembayaran SPP. Ah, andai saja ayahnya masih ada. Tentu, Puteri akan lebih gencar membujuk dan merajuk.

Melihat ibu yang sudah berusaha sekuat daya, Puteri merasa tak enak hati jika terus-terusan meminta. Sejak ayahnya meninggal ketika Puteri kelas tiga Sekolah Dasar, semua beban hidup beralih ke pundak ibunya. Tanpa kerja keras ibu, pasti Puteri tidak akan bisa berseragam putih abu-abu seperti sekarang. Ah, ia memang terlalu banyak menuntut.

Sebenarnya Puteri lebih suka dipusingkan dengan rumus-rumus Fisika, Kimia, maupun Matematika. Serumit apapun rumus itu, jika kita mempelajarinya dengan tekun pasti bisa ditaklukkannya. Namun faktor-faktor di luar mata pelajaran justru terasa lebih memusingkan. Mulai dari gaya penampilan, tempat nongkrong, kendaraan, telepon genggam, laptop, cowok, maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan pergaulan remaja masa kini. Puteri tak punya cukup uang untuk memenuhi tetek bengek seperti itu. Sementara ia juga tidak ingin terasing dari pergaulan teman-teman sekolahnya.

---oOo---

“Jika mau menerima sentuhan, engkau bisa membeli hape layar sentuh.” 

Puteri tak henti mengagumi kecanggihan telepon genggam layar sentuh kepunyaan Tante Rini, tetangganya. Perempuan cantik itu bermurah hati meminjamkan benda mungil ini kepadanya. Sambil mendengarkan musik, jemarinya asyik membuka fitur-fitur yang tersedia. Tapi, pikirannya tak lepas memikirkan ajakan Tante Rini yang terus terngiang.
Puteri mencoba menduga arah pembicaraan Tante Rini. Apakah maksud kata, “Rela menerima sentuhan untuk mendapatkan layar sentuh,” berarti ia harus merelakan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.

Pekerjaan Tante Rini sendiri masih misterius dan tanda tanya. Rutinitasnya berangkat kerja selepas petang dan pulang menjelang subuh, mengkicaukan kabar burung seantero warga sekampung pada dugaan profesi seputar wilayah remang-remang. Mulai dari pelayan café, penyanyi dangdut keliling, tukang pijat, hingga kupu-kupu malam. Entah mana yang benar? Gosip memang kadang tidak mengenal asas praduga tak berzinah, eh bersalah.

“Tante tidak memaksa, tapi kalau mau ikutlah bersama Tante malam minggu nanti. Dalam semalam kamu bisa dapat uang Rp500 ribu tanpa perlu bekerja keras.”
Pesona layar sentuh kembali menggoda hati Puteri. Kapan ia menggenggam dan memiliki benda mungil ini. Kapan ia bisa membuktikan kata-kata yang terlanjur meluncur pada beberapa teman sekelasnya.

“Aku juga bisa punya hape layar sentuh?”
Kata-kata yang ternyata disambut dengan tawa cekikikan setengah mengejek.
“Anak tukang gado-gado punya hape layar sentuh? Mimpi kaleeee?”
“Ciyus? Miapah?”

Puteri kembali asyik menyusuri keajaiban layar sentuh. Kesadarannya seperti terseret memasuki sebuah dunia yang begitu dinamis dan penuh warna. “Jangankan hape layar sentuh, Kalau kamu mau ikut Tante, dalam waktu tiga bulan kamu bisa memiliki Ipad.”

Komputer jinjing dengan layar sentuh tentu tak pernah terlintas dalam lamunannya. Pasti akan sangat keren jika ia ke sekolah tidak sekedar hanya membawa telepon genggam layar sentuh tapi juga Ipad. Pasti seluruh sekolah akan membicarakannya. Tapi kembali kesadaran hati Puteri menghembuskan pertanyaan besar. “Haruskah layar sentuh dalam genggaman harus kutebus dengan menerima sentuhan di sekujur badan?”

---oOo---

Puteri berusaha menaklukkan debur perasaan yang bergemuruh di rongga dadanya. Pendingin udara tak kuasa menahan laju keringat yang membasahi dahi dan wajah Puteri. Dinding kamar hotel terasa menghimpit kesadaran. Pikiran gelap telah menuntunnya menuju jalan yang ditawarkan Tante Rini. Pesona layar sentuh benar-benar telah menyihir kelabilan jiwa remaja Puteri.

“Akan kubuktikan bahwa aku juga bisa mempunyai hape layar sentuh.” Ejekan dan provokasi teman-temannya telah membuat Puteri kalap. Harga dirinya merasa terlecehkan. Sekarang, ia harus membuktikan kata-kata yang terlanjut keluar dari mulutnya. Tapi bagaimana cara mendapatkan uang yang tidak sedikit itu? Memaksa ibunya jelas tak mungkin.

Entah bisikan setan darimana, Puteri seketika teringat pada ajakan Tante Rini. Maka sore tadi, dengan alasan menghadiri pesta ulang tahun temannya, Puteri mengendap-endap menuju rumah Tante Rini dan sepakat bertemu di sebuah hotel di tengah kota.
“Tunggulah di kamar ini. Jika ada seseorang yang datang, kamu hanya perlu diam dan menuruti semua kemauannya. Awas jangan macam-macam.”

Sekarang, Puteri merasa begitu takut. Ia ingin segera lari dari kamar hotel ini. Tapi sepertinya sudah tak mungkin lagi. Di lobi hotel, Tante Rini dan seorang bertubuh kekar telah siap siaga menjaga segala kemungkinan. Apalagi ia sudah terlanjur menerima uang Rp500 ribu.

“Betapa mahal harga yang dipertaruhkan untuk menggenggam benda mungil itu.”
Sebuah ketukan membuat jantung Puteri berdegup kencang. Keringat dingin kembali membasahi wajahnya. Dengan tangan gemetar, dipegangnya gagang pintu.  Klik. Sesosok lelaki berumur muncul bersama terbukanya daun pintu.

Puteri sangat terkejut, begitu juga raut muka lelaki dihadapannya. Keduanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang sama. Sejenak keduanya menjadi salah tingkah dan hanya terpaku tanpa keluar sepatah kata pun.

Raut wajah lelaki itu begitu lekat dalam kehidupan Puteri. Bukankah, ini Om Anton, orangtua Shinta, sahabatnya. Mereka begitu akrab. Bahkan, orangtua Shinta telah mengganggap Puteri seperti anggota keluarga mereka. Bagaimana sosok yang selama ini dikenal Puteri sebagai seorang ayah yang setia dan bertanggung jawab bisa berada di kamar hotel untuk menemui gadis remaja sepertinya?

“Lho, kok Om Anton ada di sini?”
“Puteri sendiri mengapa di sini?”
Setengah terisak, Puteri menceritakan semua yang terjadi. Tak terasa, air mata menetes dari sepasang mata Om Anton. Dengan lembut dibelainya rambut Puteri. Sebuah sentuhan kasih sayang orangtua pada anaknya. Belaian yang sudah lama hilang dan tidak pernah dirasakan Puteri. Tanpa perlu berkata-kata, Puteri sudah mengerti gejolak yang dirasakan ayah sahabatnya itu.

“Maafkan Om Anton ya. Tiba-tiba Om ingat pada Shinta. Bagaimana kalau peristiwa ini menimpa dirinya. Untung semuanya belum terjadi. Sekarang pulanglah. Anggap saja kita tidak pernah bertemu di tempat ini. Mari kita tutup rahasia ini rapat-rapat.”
“Baik Om, tapi Om Anton juga harus berjanji.”
“Berjanji apa?”
“Berjanji untuk setia dan tidak menghianati kepercayaan keluarga Om Anton.”
“Tanpa Puteri minta pun, Om Anton akan berusaha menjaga kepercayaan itu. Om benar-benar menyesal.”

Tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak. Dua orang berseragam polisi mengacungkan pistol. Puteri menjerit kencang dan reflek memeluk tubuh Om Anton untuk mencari perlindungan. Kilatan lampu kamera dan hardikan suara lantang menyergap.
“Angkat tangan! Kami dari kepolisian.“

---oOo---

Sebagai pengusaha yang berpengaruh di kota ini, dengan berbagai lobi, Om Anton bisa menutup rapat-rapat kejadian memalukan di malam itu agar tidak menyebar. Seorang pengusaha ditangkap sedang berduaan dengan gadis remaja di sebuah kamar hotel. Pasti berbagai isu dan spekulasi akan bermunculan. Apa kata dunia?

Puteri pun bebas dengan jaminan dari Om Anton. Tentu saja dengan catatan dan kesepakatan, agar Puteri menutup rapat-rapat peristiwa malam itu. Sementara Tante Rini raib entah kemana. Ternyata Tante Rini merupakan salah satu mata rantai sindikat yang sering menjerumuskan gadis remaja ke dalam lembah nista bernama prostitusi.

Puteri hanya bisa berkubang dengan airmata penyesalan. Beberapa hari ia mengurung diri di kamar. Peristiwa malam itu benar-benar telah menguncang kesadaran jiwanya. Hanya karena ingin memiliki telepon genggam layar sentuh, ia telah membutakan mata hati dan nuraninya. Harusnya ia menyadari kemampuan orang tuanya dan tidak mudah terprovokasi persaingan remeh-temeh bersifat kebendaan. Harusnya kemiskinan justru melecut kemampuan untuk mencapai prestasi tertinggi.

Seandainya bukan Om Anton yang mengetuk pintu kamar itu, mungkin sekarang ia telah kehilangan kesucian. Ah, bagaimana perasaan Ibunya jika mendengar semua ini. Puteri hanya bisa berharap semoga peristiwa malam itu tidak menyebar apalagi menjadi berita di surat kabar.

Sementara di beranda rumah, ibunya masih sibuk menggerus bumbu dan meracik gado-gado. Sepertinya perempuan tua itu tidak tahu peristiwa yang baru saja menimpa anak kesayangannya.

Sesobek koran segera diambilnya untuk membungkus pesanan. Kesibukan membuat mata rentanya tak lagi memperhatikan selarik judul berita harian lokal. Apalagi ketika aneka sayuran dan cairan bumbu menimbun berderet kata.

DEMI HP LAYAR SENTUH, SISWI SMA NEKAT JUAL DIRI

--- oOo ---

Depok, 01 September 2011

SETIYO BARDONO, seorang TRAINer (penumpang Kereta Rel Listrik/KRL) kelahiran Purworejo, 15 Oktober 1975. Buku Antologi puisi tunggalnya: Mengering Basah (Aruskata Press, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Publishing, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Cerpennya sudah dimuat di berbagai media cetak. Email: setiakata@yahoo.com