Senin, 01 Juni 2015

Cerpan: Saldo

(cerita ini saya tulis sebagai bentuk penghargaan terhadap kejujuran seorang office boy yang menemukan Kartu Multi Trip dan berusaha mengembalikannya)

Paijo tertegun menatap sederet angka yang tertera di layar mesin pengecek saldo. Tiga kali ia menempelkan Kartu Multi Trip (KMT). Saldonya tetap sama: 247.000.
Selama menjadi pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) belum pernah saldo tiket elektroniknya lebih dari empat puluh ribu. Paijo tak menyangka, KMT yang ditemukannya dalam perjalanan menuju Stasiun Gondangdia menyimpan saldo menggoda.
Di saat yang sama, saldo KMT miliknya sangat mengenaskan: dua belas ribu rupiah. Hanya selisih seribu rupiah dari saldo minimal. Saatnya mengisi ulang agar tidak terkena denda suplisi lima puluh ribu rupiah.
Antrian di depan loket nampak mengular. Paijo mendesah sambil mengibaskan KMT tak bertuan. Tak ada identitas maupun foto pemilik. Satu-satunya jejak hanya goresan tanda tangan.
Jika harus mengembalikan pada pemilik sah, bagaimana cara menyusurinya? Apakah ia harus mematuhi ketentuan yang tertera di balik KMT: Barang siapa yang menemukan kartu ini harap mengembalikan ke stasiun terdekat.
Kebimbangan menguasai pikiran. Ketika nanti pengumuman penemuan KMT menggema di Stasiun Gondangdia, jangan-jangan banyak orang yang mengaku kehilangan. KMT ini bisa jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.
Seketika pikirannya rusuh. Ah, mengapa bukan aku saja yang menggunakannya. Lumayan bisa naik KRL gratis selama satu setengah bulan.
Paijo mencoba menghalau pikiran buruk dan mengukuhkan pendirian. Ia tak boleh menggunakan barang yang bukan miliknya.
Ia lekas merogoh saku bajunya, tak ada selembar uangpun. Dompet pun mengangga menjulurkan dua lembar uang sejumlah tiga puluh ribu rupiah. Alhamdulillah masih bisa isi saldo dan naik angkot ke rumah.
Saat berdiri di ujung antrian penumpang yang membeli tiket, telepon genggamnya bergetar. Gambar amplop putih berkedip-kedip di layar. Pesan dari Nuraini, istrinya terbuka.
“Pa, nanti mampir ke pasar. Beli jeruk Medan buat Intan, 2 kilo yang gede-gede.”
Deg! Paijo tertegun. Dua kilo jeruk harganya dua puluh lima ribu. Sisa uang lima ribu tak mungkin digunakan untuk isi ulang KMT dan naik angkot. Tapi rasanya tak tega menolak permintaan istrinya.
Seketika, Paijo teringat pada KMT temuan di saku bajunya. Sekali ini saja, tak apalah memakainya. Toh hanya berkurang sedikit. Pemiliknya pasti bisa memakluminya, pikir Paijo.
Paijo pun keluar dari antrian. Tubuhnya bergerak menuju deretan pintu masuk.
--- oOo ---

Paijo turun dari KRL dan mengikuti arus keluar penumpang menuju pintu keluar Stasiun Depok Baru. Seusai mengantri, ia menempelkan KMT di gate out. Ia membolak-balik KMT, namun lampu indikator tak jua menyala hijau. Saat seorang petugas menghampirinya, Paijo melihat goresan tanda tangan di KMT. Paijo tersadar bahwa itu bukan KMT miliknya.
“Maaf Pak salah kartu,” kata Paijo kepada petugas.
Paijo merogoh KMT lain yang ada di dalam saku celananya. Begitu menempel di gate out, lampu indikator langsung menyala hijau. Ia bergegas keluar, melangkah menuju deretan lapak pedagang buah tak jauh dari ujung peron stasiun. Musim Duku Palembang sudah usai, lapak-lapak dikuasai oleh salak pondok dan jeruk.
“Berapa Bang?” tanya Paijo sambil mencicipi jeruk yang sudah terkelupas. Rasanya manis juga.
“Biasa sekilo lima belas ribu,” kata pedagang jeruk.
“Sepuluh ribu ya Bang.”
“Belum bisa Pak. Kalau beli dua kilo bisa dua puluh lima ribu.”
“Sekilo saja deh.”
Sambil memilih jeruk, peristiwa sebelumnya melintas dalam pikiran. Pikiran rusuh berhasil membujuknya untuk menggunakan KMT Temuan. Saat kakinya tinggal selangkah lagi melewati pintu masuk Stasiun Gondangdia, suara Adzan terdengar. Paijo berhenti dan memutuskan untuk Sholat Isya. Basuhan air wudhu, perjalanan rakaat dan doa meluruhkan niatan kusut di hatinya.
Walaupun sisa saldo di KMT temuan begitu menggoda, ia tak berhak menggunakannya. Sebagai seorang office boy, ia terbiasa membawa uang pas saat bekerja. Tapi itu bukan alasan untuk memanfaatkan keadaan. Uang tiga puluh ribu di sakunya masih cukup untuk mengisi ulang KMT dan membayar angkot. Permintaan istrinya untuk membeli jeruk masih bisa dipenuhi walau hanya sekilo saja.
Setelah transaksi jeruk selesai, Paijo bergegas menuju pangkalan angkot biru 03. Perjalanan menuju rumahnya di Kampung Telaga relatif lancar. Saat menyusuri kelokan gang menuju rumahnya, Paijo sudah menyiapkan kata untuk istri tercinta.
“Maaf Bu, jeruknya cuma sekilo. Uang Bapak kurang,” kata Paijo sambil mengendong Intan, buah hatinya.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Saya bikin teh dulu ya Pak,” jawab istrinya sambil tersenyum manis.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan suara salam. Paijo membalas salam dan membuka pintu.
“Eh Bu Lestari, silakan masuk Bu.”
“Di sini saja Pak. Saya cuma mau ngasih oleh-oleh. Tadi sore ada saudara datang dari kampung.”
“Wah terima kasih Bu.”
Setelah Bu Lestari pulang, Intan melongok isi kantong plastik. “Ju uk,” kata Intan sambil mengambil satu buah jeruk. Paijo tersenyum melihat tingkah Intan. Alhamdulillah, sepertinya Tuhan mengirimkan Bu Lestari untuk menggenapi buah jeruk menjadi dua kilo sesuai permintaan istrinya.
Saat berganti baju, Paijo mengamati KMT temuan yang tergeletak di meja. Paijo mendesah, Bagaimana cara mengembalikan KMT ini pada pemiliknya?
--- oOo ---

Anton tertegun menatap KMT yang tergeletak di meja kerjanya. Tak ada jejak identitas di tiket elektronik selain goresan tanda tangan. Sekarang bagaimana ia bisa mengembalikan KMT itu pada pemiliknya.
Sebagai seorang Marketing Manager, Anton sudah terbiasa memegang amanah dari pimpinan perusahaan. Setiap tugas selalu dikerjakannya dengan baik dan profesional. Sekarang, integritasnya teruji saat menerima kepercayaan dari seorang Office Boy (OB).
Sebenarnya ia sempat menolak halus, saat Paijo menyerahkan KMT temuannya. Baginya, keberadaan KMT itu hanya akan menambah bebannya saja. Namun kejujuran Paijo membuatnya luluh. Seorang OB dengan penghasilan pas-pasan berniat mengembalikan KMT temuan bersaldo 247.000. Sebuah kejujuran yang tak ternilai harganya.
Jika Paijo diam-diam menggunakan KMT itu, tak akan ada seorang pun tahu. Namun kejujuran menggerakkan hatinya, “Maaf Pak Anton, saya minta tolong KMT ini dimasukin ke Pesbuk. Kasihan yang punya pasti kebingungan. Saldonya lumayan banyak. Bapak kan punya banyak kenalan penumpang KRL. Saya tidak punya pesbuk, apalagi twiter pak.”
Walaupun memiliki kedudukan cukup tinggi, dalam pergaulan Anton tak pernah membedakan status maupun tingkat ekonomi seseorang. Tak heran jika ia juga akrab dengan banyak orang termasuk office boy di gedung tempatnya bekerja.
Anton bergegas memotret KMT temuan itu. Ia harus berusaha menghargai kejujuran Paijo. Dalam kehidupan tergesa, nilai-nilai kejujuran banyak yang hilang digilas laju peradaban. Anton merasa bersyukur karena kejujuran itu ternyata masih ada dan tak jauh dalam kehidupannya.
Anton pun mengunggah foto KMT itu di grup facebook KRLMania beserta pengumuman.
Seorang Office Boyi menemukan sebuah KMT di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Di balik KMT ada tanda tangan pemilik. Barang siapa merasa kehilangan harap menghubungi saya melalui pesan pribadi. Untuk menghindari klaim dari orang yang tidak bertanggung jawab, sebutkan:
- Perkiraan saldo terakhir KMT
- Mengirimkan scan/foto tanda tangan.
Anton tersenyum. Ia berharap usahanya ini akan membuahkan hasil.
--- oOo ---

“Kamu bego banget sih Jo,” kata Hendra saat sedang istirahat di Pantry.
“Ya iya lah. Kalau pinter aku sudah jadi Bos,” jawab Paijo sekenanya, sambil mengelap meja.
“Kamu bisa aja Jo. Ini masalah kartu multi trip itu. Kok kamu kasih ke Pak Anton sih.”
“Jadi harus kukasih ke kamu Ndra. Lha enak amat. Kartu itu bukan aku kasih ke Pak Anton. Aku cuma minta tolong sama Pak Anton buat mencari pemiliknya.”
“Emang kamu yakin Dia bisa nemuin pemiliknya? Jangan-jangan malah diembat.”
“Hush! Kamu tak boleh berburuk rupa eh berburuk sangka. Pak Anton punya banyak kenalan sesama penumpang kereta. Pasti dia tahu caranya menemukan pemilik kartu itu.”
“Kamu yakin Jo.”
“Yakinlah. Kalau aku kasih ke kamu baru aku nggak percaya.”
“Sialan kamu Jo. Padahal mau aku beli lima puluh ribu.”
“Terima kasih Ndra. Barang nemu kok dijual.”
“Bagaimana kalau seratus ribu. Kontan.”
Hendra mengeluarkan dompet dan mengambil selembar uang seratus ribu. Hendra mengibaskan uang itu.
“Bagaimana Jo. Tawaran baik tidak datang dua kali.”
“Banyak uang kamu ndra. Mendingan uangnya buat bayar utangmu yang numpuk di warung Mpok Nurul, Ndra.”
“He he. Kok kamu tahu.”
“Ya tahu lah. Kemarin Mpok Nurul curhat: Tolong ingetin Hendra buat bayar utang.”
“Payah nih Mpok Nurul, pake sewa tukang tagih segala. Jangan kuatir Jo, nanti pasti aku lunasin,” kata Hendra sambil garuk-garuk kepala.
“Nah, gitu dong. Beli rokok sebungkus bisa kontan, kok makan malah ngutang,”
“Kok malah ngomongin utang sih. Penginnya sih naik kereta bisa ngutang juga.”
“Emang sepure Mbahmu.”
“Rooming deh. Kalau aku jadi kamu, kartu itu aku pakai sendiri. Lumayan, saldonya kan banyak. Nggak akan ada yang tahu.”
“Nggak ah. Aku nggak berhak memakainya.”
“Kamu sok bermoral Jo.”
Paijo hanya tersenyum menanggapi perkataan temannya. Kartu Multi Trip itu memang berisi saldo yang menggiurkan. Ia tak mau memanfaatkan saldo di tiket temuan, namun mengurangi saldo bekal perjalanan di hari kemudian.
--- oOo ---

Sejak mengunggah berita temuan Kartu Multi Trip, Anton menerima beberapa pesan di akun Facebooknya. Semua mengaku kehilangan tiket elektronik.
Sayangnya, belum ada yang bisa menulis dengan tepat atau setidaknya mendekati perkiraaan nilai saldo. Anton tersenyum. Ternyata banyak juga penumpang KRL yang kehilangan KMT.
Anton sempat bernafas lega saat seseorang mengaku kehilangan KMT bersaldo 250 ribu. Namun saat diminta mengirimkan foto tanda tangan, orang tersebut tak membalas lagi pesannya.
“Bagaimana Pak, sudah ada kabar baik?” tanya Paijo saat menyerahkan sebungkus gado-gado.
“Sudah ada beberapa yang mengaku kehilangan, tapi semuanya tak bisa menebak saldonya. Sabar Jo, kan baru dua hari,” jawab Anton.
“Iya Pak Anton, saya paham. Maaf kalau saya sudah merepotkan Bapak,” kata Paijo sopan.
“Nggak apa-apa Jo. Ini pakai lontong dan pedas kan?”
“Iya Pak, kan karetnya dua.”
“Sip lah. O iya kamu pernah nggak bertanya pada tukang gado-gado, mengapa kalau pedas kok karetnya dua?” tanya Anton iseng.
“Wah belum pernah Pak. Mungkin SOP-nya begitu Pak.”
“Kalau menurut pendapat kamu?”
“Ini mungkin lho Pak. Mungkin semacam falsafah tersirat agar saat menghadapi pedasnya kehidupan manusia harus lebih menguatkan ikatan iman dan keyakinan. Manusia kan menjalani dua kehidupan di dunia dan akherat nanti. Makanya karetnya dua.”
“Bisa jadi Jo. Kamu hebat juga. Saya saja tidak pernah berpikir sejauh itu. Tahunya makan saja.”
“Ah Bapak bisa saja. Kok jadi ngerumpi gado-gado ya Pak. Maaf, saya harus ke dapur dulu.”
Anton tersenyum menatap tubuh Paijo hingga hilang dibalik pintu. Ternyata dibalik sebungkus gado-gado pedas terselip nilai-nilai kehidupan. Hebatnya, yang mengupas falsafah itu adalah seorang office boy. Kita memang tak boleh meremehkan seseorang.
Saat hendak membuka bungkusan gado-gado. Sebuah pesan masuk ke akun facebooknya.
“Pak Anton, mengenai KMT yang Bapak temukan, mungkin itu milik teman saya. Soalnya KMT-nya yang hilang juga ada tanda tangannya.”
Dengan semangat, Anton bergegas menjawab pesan dari akun aditya gantenkz.
“Oke, kalau begitu suruh temannya menyebutkan perkiraan saldo dan mengirim foto tanda tangan.”
Entah mengapa, tiba-tiba Anton merasa tak lama lagi akan ada titik terang.
--- oOo ---

Titik terang menjelma bersama kedatangan Asti, perempuan pemilik KMT yang ditemukan Paijo. Sehari sebelumnya, Asti mengirimkan pesan di akun facebook Anton.
Perkiraan saldo KMT yang disampaikan Asti memang tak persis sama, tapi tak jauh berbeda. Memori manusia kadang rapuh dalam mengingat angka-angka. Yang terpenting: guratan tanda tangannya sama dengan goresan di KMT. Sesuatu yang tak mudah dimanipulasi.
“Terima kasih Pak Anton. Maaf sudah merepotkan. Sebenarnya saya sudah mengikhlaskannya. Rasanya mustahil KMT yang hilang itu bisa kembali,” kata Asti saat mereka bertemu di lobi untuk serah terima KMT.
“Sama-sama Bu Asti. Sebenarnya bukan saya yang menemukan. Saya hanya membantu Mas Paijo, office boy di kantor ini. Maklum dia belum punya fesbuk,” jawab Anton.
“Apakah saya bisa bertemu dengannya Pak?”
“Oh bisa Bu. Sebentar saya panggil Mas Paijo.”
Anton mengirim pesan pendek ke Paijo. Sambil menunggu kedatangan Paijo, mereka berbincang-bincang.
“Sepertinya KMT itu jatuh sewaktu saya mengambil handphone di saku jaket,” cerita Asti yang waktu itu sedang melintasi jalan raya Wahid Hasyim sesudah turun dari Stasiun Gondangdia.
“Kalaupun KMT itu ditemukan, saya pikir akan kesulitan bagi orang untuk melacak pemiliknya. Tak ada identitas dalam KMT. Saya hanya iseng membubuhkan tanda tangan. Eh tak tahunya ditemukan oleh orang sebaik Mas Paijo,” lanjutnya.
“Begitulah kekuatan media sosial bu. Walau memang media sosial seperti pisau bermata dua. Semua tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya,” jawab Anton.
Tak lama kemudian Paijo muncul. Anton segera memperkenalkan Asti kepada Paijo.
“Mas Paijo, ini namanya Bu Asti, pemilik KMT itu. O iya, saya mau ke belakang dulu. Silakan ngobrol-ngobrol,” kata Anton. Ia ingin membiarkan Asti dan Paijo berbincang tanpa ada gangguan dan rasa sungkan.
Sekitar setengah jam kemudian ia kembali ke lobi. Anton mendapati Asti sudah sendirian. Mungkin urusan dengan Paijo sudah selesai.
“Maaf Pak, saya harus pamit dulu. Sekali lagi terima kasih,” kata Asti dengan sopan.
Sambil mengantarkan Asti hingga ke depan kantor, Anton mencoba bertanya, “Bagaimana bu, tadi sudah berbicara dengan Mas Paijo kan.”
“Iya Pak. Saya jadi nggak enak Pak. Mas Paijo memang baik orangnya. Tadi saya mau kasih uang buat ucapan terima kasih tetapi Mas Paijo menolaknnya. Ia hanya bilang, doakan agar saya sehat dan selalu bisa berkarya.”
Perkataan Asti membuat Anton termenung. Seketika berbagai pikiran berseliweran seperti lalu lalang kendaraan.
--- oOo ---

Paijo terguncang-guncang di atas KRL Commuterline. Malam ini ia ingin cepat pulang, memeluk istri dan anaknya, dan menceritakan kabar gembira.

Kisah penemuan tiket Multi trip dua bulan lalu ternyata belum berakhir. Siang tadi ia dipanggil oleh Pak Bramantyo, Direktur Utama tempatnya bekerja. Di ruangan kerja Pak Bramantyo, sudah ada Pak Anton dan Bu Asti. Awalnya Paijo menduga, Pak Bramantyo menyuruhnya menghidangkan makanan dan minuman. Namun, yang terladi di luar dugaannya.

"Saya sudah mendengarkan kisah kejujuran Pak Paijo saat menemukan Kartu Multi Trip dari Pak Anton dan Bu Asti. Karena itu, saya memutuskan untuk mengangkat Pak Paijo sebagai karyawan tetap. Kejujuran Pak Paijo bisa menjadi teladan bagi karyawan lain. Saya merasa bangga memiliki karyawan seperti Pak Paijo," kata Pak Bramantyo.

"Alhamdulillah. Terima kasih Pak Bramantyo atas kepercayaannya. Sebenarnya sudah menjadi kewajiban saya untuk mengembalikan KMT itu pada Bu Asti," jawab Paijo dengan bibir gemetar. Ia sangat terharu atas kebaikan pimpinannya.

"Pak Paijo memang pantas mendapatkannya. Nanti bagian HRD akan mengurus semuanya," ucap Pak Bramantyo sambil menepuk pundak Paijo.

"O iya, Bu Asti juga datang kemari karena ada sesuatu yang ingin disampaikan. Silakan Bu Asti," lanjut Pak Bramantyo.

"Begini Pak. Terus terang, kejujuran Pak Paijo sangat menyentuh hati saya. Kebetulan saya bekerja di perusahaan travel. Karena itu, saya ingin memberikan kesempatan bagi Pak Paijo sekeluarga untuk umroh ke tanah suci," ungkap Bu Asti.

Paijo seketika merasa lemas. Ia tak bisa berkata-kata. Paijo sama sekali tak menyangka akan mendapatkan limpahan rejeki yang bertubi-tubi. 

"Alhamdulillah, terima kasih Bu Asti. Saya benar-benar tidak menyangka. Ya Allah, terima kasih atas nikmat dan karunia yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini," ucapnya terbata-bata. Suasana haru seketika menyelimuti ruang.

KRL Commuterline terus berderak membawa tubuh-tubuh yang berdesakan menuju jalan pulang. Paijo terus mengingat peristiwa siang tadi. Dalam guncangan kereta, tak terasa air matanya mengalir.


--- selesai ----
Depok, Mei 2015