Novel Separuh Kaku
Penulis: Setiyo Bardono
Penerbit Senja, Oktober 2014
"dan terjadi lagi
gangguan sinyal yang terulang kembali
kuberdiri lagi
berdesakan di kereta harus kujalani."
Cerita dalam buku ini merupakan kelanjutan dari Novel Koin Cinta.
Kepindahan orang tua dari Depok ke Cilebut membuat Panji akrab dengan kereta rel listrik (KRL). Gara-gara tragedi ingus, Panji berkenalan dengan Eka Naomi Keretawati hingga berujung pada peristiwa Salah Wati.
Sejak menjadi TRAINer, Panji dekat dengan gadis-gadis cantik. Dari Eva Peron hingga gadis mirip Ussy Sulistyowati, tapi KW2. Namun entah mengapa kisah cinta Panji selalu lucu tapi pilu.
Kekecewaan cinta membuat Panji menjalani jalur salah hingga jadi ataper. Namun peristiwa tragis membuatnya tersadar.
Ikuti kisah Panji, seorang TRAINer, dalam kesehariannya di ular besi. Termasuk aktivitas Panji sebagai penyerang utama klub sepak bola Trainham Hotsepur, yang siap menggasak dominasi Klub Real Cilebut dan Barca (Barisan Remaja Cilebut Asri) FC.
Novel ini membawa pembaca (terutama roker) untuk bernostalgia mengenang hiruk pikuk krl ekonomi.
"Karena separuh kaku, kakiku."
Sementara novel ini bisa dibeli di toko buku online. Insya Allah nanti akan tersebar di toko buku gramedia terdekat
http://divapress-online.com/product/view/3011/separuh_kaku.html
http://www.bukukita.com/Buku-Novel/Romance/129772-Separuh-Kaku.html
Sabtu, 01 November 2014
Selasa, 14 Oktober 2014
Stasiun +39 M Catatan Minim(alis) Penumpang KRL
Stasiun +39 M Catatan Minim(alis) Penumpang KRL.
Iseng-iseng membuat ebook berisi catatan minimalis penumpang krl. bisa diklik di
http://issuu.com/setiyobardono/docs/stasiun_39m/1
Iseng-iseng membuat ebook berisi catatan minimalis penumpang krl. bisa diklik di
http://issuu.com/setiyobardono/docs/stasiun_39m/1
Minggu, 31 Agustus 2014
Kamis, 03 Juli 2014
REL(igi)
REL(igi)
Puisi Setiyo Bardono
Menyusuri jalur jalan suci bulan puasa,
kereta menaburkan harapan di rongga dada.
Semoga batu-batu teguh menahan hawa nafsu,
hingga tak satupun merajam letih tubuhku.
Stasiun yang intim dengan curiga caci maki,
semoga setia membersihkan diri.
Peron yang disesaki sampah serapah,
semoga tertib mengendalikan lidah.
Sinyal yang mudah tergoda perubahan cuaca,
semoga tegar menjaga pertahanan dirinya.
Wesel yang kadang tergagap mengendalikan arah,
semoga kesadarannya terjaga tak mudah lengah.
Hingga beban-beban khilaf dosa sepenuh kereta,
terhapus khusyuk rangkaian gerbong ibadah puasa.
Thamrin, 05 Agustus 2011
Puisi Setiyo Bardono
Menyusuri jalur jalan suci bulan puasa,
kereta menaburkan harapan di rongga dada.
Semoga batu-batu teguh menahan hawa nafsu,
hingga tak satupun merajam letih tubuhku.
Stasiun yang intim dengan curiga caci maki,
semoga setia membersihkan diri.
Peron yang disesaki sampah serapah,
semoga tertib mengendalikan lidah.
Sinyal yang mudah tergoda perubahan cuaca,
semoga tegar menjaga pertahanan dirinya.
Wesel yang kadang tergagap mengendalikan arah,
semoga kesadarannya terjaga tak mudah lengah.
Hingga beban-beban khilaf dosa sepenuh kereta,
terhapus khusyuk rangkaian gerbong ibadah puasa.
Thamrin, 05 Agustus 2011
Jumat, 04 April 2014
Mereka yang Berebut Tempat Duduk
Mereka yang Berebut Tempat Duduk
Puisi Setiyo Bardono
Mereka yang berhasrat mendapat tempat duduk, berebut simpati di stasiun demokrasi. Tubuhnya melenggak lenggok tebar pesona, mendesiskan bujuk rayu janji. Bisa dipenuhi atau tidak itu urusan nanti.
Mereka yang bermimpi mendapat tempat duduk berebut agar bisa tampil terdepan. Segala cara dilakukan. Sikut kiri sikat kanan. Senggol sana senggol sini. Di sana janji di sini janji. Semua demi satu tujuan duduk manis di kursi dewan.
Mereka serupa penumpang kereta listrik berebut tempat duduk. Saat pintu kereta terbuka, berebut masuk seradak seruduk. Setelah duduk terbuai kantuk. Tak peduli ibu hamil dan manula berdiri. Lupa janji akan bekerja dengan hati, peka dan penuh peduli.
Mereka yang berebut tempat duduk mencari simpati di stasiun demokrasi. Berisik suara menenggelamkan nasehat pengeras suara.
"Perhatian dari jalur demokrasi, kereta tujuan kursi dewan segera diberangkatan. Kepada para politisi yang tidak bisa memegang amanat dan memenuhi janji dihimbau untuk tidak memaksakan diri."
CommuterLine, Sudirman - Depok, 2 April 2014
Minggu, 30 Maret 2014
Kisah Kusut di Kereta
Kisah Kusut di Kereta
http://www.jurnas.com/halaman/26/2012-09-30/222120
PESAN PENDEK
Kereta listrik kelas ekonomi dengan jejalan penumpang berderak menjauhi Jakarta. Cuaca sore lumayan cerah mengantar ribuan pekerja pulang menuju pinggiran ibukota.
Tubuhku berjuang menjaga keseimbangan badan dari desakan penumpang. Walaupun seharian beraktivitas, kekuatan penumpang kereta listrik tak pernah pudar. Bahkan kadang lebih dahsyat dari desakan di pagi hari. Begitu menggebunya hasrat orang untuk pulang.
Akhirnya posisi tubuhku terkunci tepat di belakang pasangan yang asyik berangkulan. Tidak peduli keadaan sekitar, seolah kereta hanya milik mereka berdua.
Dalam perkiraan pandangan, lelaki ini berumur sekitar empat puluh tahun. Sementara perempuan yang menyandarkan kepala di bahunya, kurang lebih berumur tiga puluh lima tahun. Rambutnya yang panjang meruapkan aroma wangi.
Pasti mereka adalah pasangan suami-istri yang sangat romantis. Mungkin karena sama-sama bekerja, jadi tidak ada waktu untuk berduaan. Berdua di dalam kereta bisa dimanfaatkan untuk saling berbagi kemesraan dan perhatian. Kalau sudah sampai rumah, pasti urusan dapur dan si kecil begitu menyita perhatian.
Sesekali sang lelaki membisikkan sesuatu. Tak jelas apa yang kemudian mereka perbincangkan. Kondisi kereta yang panas membuat penumpang gaduh dan menghamburkan keluh. Kipas angin di langit-langit kereta, hanya terdiam memandang wajah-wajah yang bercucuran peluh.
Tiba-tiba, perempuan ini menegakkan kepala dan sedikit merenggangkan tubuh. Tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam tas. Tak lama, sebuah telepon genggam menyita perhatiannya. Jemarinya fasih menulis serangkaian pesan. Mataku tidak sengaja ikut membaca rangkaian huruf yang bermunculan.
"Pah, ibu masih di kereta. Baru nyampe Pasar Minggu."
Mataku terkesiap seperti tubuh penumpang atap yang tersengat listrik tegangan tinggi. Pikiran buruk berhamburan seiring gambar amplop terbang pertanda pesan terkirim. Apakah "Pah" kependekan dari "Papah". Apakah pesan pendek itu untuk suaminya yang entah berada di mana? Lalu siapa gerangan lelaki yang berada di sampingnya? Teman kok mesra sekali.
Hembusan angin dari celah jendela seketika menampar kesadaran. Aku tidak boleh berburuk sangka. Bisa saja perempuan ini memanggil ayahnya dengan Papah. Mungkin saja pesan itu untuk Ipah, pembantu rumah tangganya.
Sekarang mataku menduga jawaban apa yang akan menggetarkan telepon genggam. Tapi perempuan ini lebih memilih memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas. Kemudian dia kembali menyandarkan kepalanya pada bahu sang lelaki.
Menjelang Stasiun Universitas Indonesia sang lelaki kembali membisikkan sesuatu. "Hati-hati ya," kata perempuan ini mengiringi langkah sang lelaki menyibak tubuh-tubuh menuju pintu keluar.
Perempuan ini sekarang berdiri sendiri sambil menatap jendela kereta. Langit mulai gelap. Sebentar lagi malam menyergap. Kereta terus berderak tanpa memedulikan tingkah laku penumpang yang berada di perut dan punggungnya.
PIJAT REFLEKSI
Stasiun Depok Lama menjadi salah satu titik awal perjalanan kereta listrik. Dari Depo tak jauh dari Stasiun Depok Lama, kereta datang dalam keadaan kosong melompong. Penumpang yang sudah menunggu kereta di peron berpeluang mendapat tempat duduk. Bagi penumpang kereta listrik, mendapat tempat duduk merupakan kemewahan tersendiri.
Jika menunggu kereta listrik yang datang dari Bogor, mustahil mendapat tempat duduk. Mendapat tempat berdiri di dalam kereta saja sudah lumayan. Apalagi kalau menunggu kereta listrik kelas ekonomi. Kereta datang dengan penuh sesak. Pintu dan atap kereta sudah penuh dengan penumpang. Bisa memasuki kereta butuh siasat, keberuntungan dan kesigapan. Lengah sedikit, secuil kesempatan bisa diserobot orang.
Di lambung kereta pun, perjuangan tak lantas usai. Tubuh harus bertahan menyeimbangkan badan dari desakan penumpang di stasiun berikutnya. Dalam kondisi yang sesak dan panas, penumpang seperti mendapat pengobatan alternatif gratis: mandi sauna, pijat refleksi, bercampur kecut aroma terapi alami. Sebelum sampai di tempat kerja, badan terasa lelah, pegal dan bau naga. Pakaian rapi menjadi kusut.
Sudah lima hari aku terhindar dari kondisi seperti itu. Kereta dari Depo Depok telah menolongku. Walaupun tidak mendapat tempat duduk, aku bisa berdiri nyaman di sudut kereta. Seperti hari sebelumnya, aku masuk ke dalam kereta nomor dua. Kukenali wajah-wajah yang berada di dalam kereta. Jika naik kereta pada waktu yang sama, maka kemungkinan besar kita akan bertemu dengan orang yang sama pula.
Seorang lelaki kulihat duduk di bangku, yang berjarak satu meter dari tempatku berdiri. Seperti hari kemarin, ia sedang menikmati hasil kerja keras berebut tempat duduk dengan penumpang lain. Lelaki itu sudah memulai hari dengan keberuntungan.
Pukul 07.00 WIB, kereta listrik mulai bergerak meninggalkan Depok Lama. Kurang lebih tiga menit perjalanan, kereta mulai melambatkan jalannya. Penumpang di stasiun Depok Baru sudah membentuk pagar betis, berjajar rapi di pinggir peron.
Begitu laju kereta terhenti, puluhan orang langsung menyerbu pintu-pintu. Di dalam kereta, penumpang masih harus berebut mencari posisi. Seorang perempuan dengan napas terengah masuk dan langsung menaruh tas di atas paha lelaki itu. Sepertinya mereka berteman akrab atau mungkin sepasang kekasih.
Lelaki itu mengambil sebuah kursi lipat di dalam tas. Benda kecil itu dibuka dan diletakkannya di lantai kereta. Tanpa menunggu perintah, si perempuan duduk di atas kursi lipat menghadap lelaki itu. Mereka bercakap-cakap sebentar.
Tak lama kemudian, lelaki itu memegang jemari tangan perempuan itu.
Sepertinya mereka memang sepasang kekasih. Aku menjadi tertarik untuk lebih lanjut memperhatikan mereka. Jika seorang lelaki memegang tangan kekasihnya seperti itu, pasti ada hal serius yang akan disampaikannya. Mungkin lelaki itu akan melamar perempuan itu. “Maukah kamu menikah denganku?"
Betapa romantisnya melamar kekasih di tengah kereta yang lumayan penuh dengan penumpang. Pasti akan menjadi momen dramatis tak terlupakan. Sayangnya momen yang kutunggu itu tidak terjadi. Si lelaki itu justru sibuk memijati tangan perempuan itu. Dari caranya memijat terlihat bahwa dia sangat piawai.
Aku juga sering mengalami pijatan ketika kereta sesak. Sikut orang yang berada di belakangku sering menekan punggung. Tapi itu jelas pijatan yang sama sekali tidak mengenakkan. Badan malah menjadi sakit.
Karena adegan lamar-melamar tidak terjadi, aku berharap semoga ada percakapan romantis di antara keduanya yang bisa mewarnai perjalanan pagi ini. Namun, percakapan mereka di luar dugaanku.
“Istrimu sudah sehat?"
“Sudah mendingan. Tapi masih perlu istirahat."
“Oh, syukurlah. Terus entar malam bagaimana. Batal dong nonton filmnya."
“Ya, jadilah, masak dibatalin."
“Sip lah kalau begitu. Kalau besok kan aku nggak bisa. Mas Bramantyo besok sudah pulang dari luar kota."
Percakapan dua insan itu membuat aku terhenyak. Pikiranku sibuk menduga-duga. Sementara, kereta terus berderak, membawa tubuh-tubuh yang di dalamnya memendam beragam kisah.
KAWIN PAKSA
Penumpang berhamburan keluar dari kereta listrik kelas ekonomi yang belum sempat mengatur napasnya seusai merapat di jalur dua Stasiun Depok Lama. Beberapa penumpang masih bertahan di dalam kereta, seolah mengacuhkan peringatan yang menggema di sekujur peron.
"KRL Ekonomi jurusan Tanah Abang yang berada di jalur dua tidak bisa melanjutkan perjalanan karena gangguan teknis. Kepada seluruh penumpang diharap untuk keluar dan menunggu KRL Ekonomi yang akan memasuki jalur satu. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya."
Peron seketika menjadi lautan manusia. Serapah, cacian, ratap pengemis, musik dangdut, teriakan asongan, dan berbagai macam suara menambah kusut suasana. Aku memilih untuk mengambil posisi di dekat jalur satu, menunggu kereta yang akan masuk.
Dari arah selatan, penampakan KRL Ekonomi mulai berderak memasuki jalur satu. Dari kejauhan sudah terlihat bagaimana sesaknya kereta tersebut. Penumpang bergelantungan di pintu-pintu dan memenuhi atap kereta.
Kereta yang padat merayap itu harus siap sedia diserbu lautan penumpang di peron. Kalau satu rangkaian kereta rusak, maka kondisi akan kacau. Penumpang akan kalap menyerbu kereta berikutnya. Tak peduli kelas ekonomi atau kelas lebih tinggi. Kondisi seperti ini diistilahkan penumpang sebagai kawin paksa.
Matahari sudah mulai menyengat, aku harus sigap berebut tempat. Kalau sampai terlambat, uang makan harian bakal melayang. Di saat-saat tanggal tua begini, hal itu tidak boleh terjadi.
Ketika kereta listrik menghentikan lajunya, aku pun bergerak sigap. Tak kupedulikan kesemrawutan arus keluar masuk penumpang. Tubuh rampingku berhasil menyelinap dan beradu cepat dengan penumpang lainnya. Kekuatan besar mendorong tubuhku merangsek hingga jauh ke dalam kereta.
Posisi tubuhku akhirnya terkunci di belakang lelaki bertubuh kekar. Dia seperti tidak memedulikan keadaan sekitar yang sudah seperti pepes ikan teri. Ibu jarinya asyik menjelajahi tombol-tombol telepon genggam. Semula aku tidak memedulikan pesan apa yang ditulisnya. Napasku masih tersengal, posisi berdiri tubuhku belum kokoh benar.
Tapi lambat laut, layar telepon genggam miliknya seperti lembaran koran yang terpampang mata. Sederet pesan yang ditulisnya sangat jelas terbaca.
"Aku menikahinya hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Aku tak pernah mencintainya."
Sebuah jawaban entah dari siapa seketika terbuka, "Memangnya kenapa?"
"Cinta sejatiku hanya untukmu."
"Jangan ungkit masa lalu. Keadaan kita sudah berbeda."
"Sebenarnya ini rahasia, tapi kamu harus tahu."
"Rahasia apa?"
"Pas malam pertama, ternyata istriku sudah tak suci. Aku sangat kecewa."
Kesadaranku seperti tersengat. Segera kualihkan pandangan pada langit-langit kereta. Kipas angin tua terlihat kepayahan mengusir keringat yang membasahi wajah-wajah. Pasti kipas angin itu sudah banyak menjadi saksi berbagai peristiwa di dalam kereta ini.
Ketika pandanganku kembali ke arah depan, percakapan di layar telepon sepertinya sudah usai. Kulihat lelaki itu menatap wallpaper telepon genggamnya. Seketika mataku terpaku menatap wajah anak kecil bermata bening yang sedang terkekeh lucu.
Roda kereta terus bergerak, mengantar tubuh-tubuh yang menggantungkan nasib pada kerasnya kehidupan ibukota.
------------------------------------------
Setiyo Bardono, lahir di Purworejo, 15 Oktober 1975. Beberapa cerpennya dipublikasikan di Femina, Sinar Harapan, Tribun Kaltim, Harian Seputar Indonesia, Story Magazine, Aneka Yes, kompas.com, krlmania.com, kabar-indonesia.com, dan Depokmetro.com.
Jumat, 14 Maret 2014
HASTAKRETA (Delapan Pedoman Kepemimpinan ala Kereta)
HASTAKRETA
Delapan Pedoman Kepemimpinan ala Kereta
Puisi Setiyo Bardono
Kereta 1
: matahari
Lajumu, terang menyibak kegalauan,
rambatkan semangat menelusuri kehidupan.
Terikmu, bukan tikam mematikan,
pijar menanak pucuk harapan.
Membakar diri hanguskan amarah
di lubuk memetik terang wajah.
Meredam riuh hening makna,
mencapai tujuan tanpa siksa.
Kereta 2
: rembulan
Menganyam nyaman lembut cahaya,
keindahan pandang kedamaian rasa.
Membagi terang sepenuh hati,
mengusir risau di gelap nadi.
Riuh rahim mendamba kehangatan,
nyalakan kasih sepanjang perjalanan.
Jangan biarkan gerhana meraja,
hadirkan cinta seterang purnama.
Kereta 3
: angin
Setia merasuki helaan nafas,
darma tiada kenal tuntas.
Mengalirkan sejuk ke rongga dada,
menghalau resah denyut kereta.
Tak teraba mengalir ada,
tak berupa semilir terasa.
Menyeka peluh segala kasta,
sebelum keluh menjadi kata.
Kereta 4
: bumi
Pintu hatimu kesabaran ibu,
merangkum semua tanpa menggerutu.
Ketulusan kasih hangat menjaga,
desah nafas seisi rahimnya.
Tanpa sanjungan teguh bekerja,
tanpa perhatian kukuh langkahnya.
Walau umpat mendera raga,
tekun melaju tebarkan cinta.
Kereta 5
: bintang
Seterang bintang penunjuk arah
menuntun laju di jalur terarah.
Secercah cahaya di luas angkasa
teladan hidup pedoman jiwa.
Penuntun arah cemerlang bintang,
selempang rel tiada menyimpang.
Taburkan bintang di rongga dadamu,
ketika gelap menyesatkan laju.
Kereta 6
: samudera
Gua garbamu seluas samudera,
aliran keluh kesah bermuara.
Selembut kasih ikhlas menerima,
menjadi wadah segala rupa.
Walau gelombang berderak membuncah,
janganlah tumpah menjadi amarah.
Ketika rindu menyesaki pesisir,
pastikan senyummu hadir mengalir.
Kereta 7
: api
Menjaga gelora nyala api,
jangan sampai terbakar diri.
Pastikan kobar menempa besi,
memahat jalur arah kendali.
Jangan pernah semangat padam,
membiarkan tubuh disergap muram.
Ketika laju dikuasai nafsu,
gerbong keyakinan menyerpih abu.
Kereta 8
: langit
Mengandung benih segala cuaca,
memayungi hajat hidup semesta.
Terang lengkungkan senyuman indah,
hujan merintihkan luapan berkah.
Ketika petir menyambar sinyal,
tetapkan langkah walau tersengal,
Melakoni manis getir kenyataan,
keadilan hukum harus dikucurkan.
Delapan Pedoman Kepemimpinan ala Kereta
Puisi Setiyo Bardono
: matahari
Lajumu, terang menyibak kegalauan,
rambatkan semangat menelusuri kehidupan.
Terikmu, bukan tikam mematikan,
pijar menanak pucuk harapan.
Membakar diri hanguskan amarah
di lubuk memetik terang wajah.
Meredam riuh hening makna,
mencapai tujuan tanpa siksa.
Kereta 2
: rembulan
Menganyam nyaman lembut cahaya,
keindahan pandang kedamaian rasa.
Membagi terang sepenuh hati,
mengusir risau di gelap nadi.
Riuh rahim mendamba kehangatan,
nyalakan kasih sepanjang perjalanan.
Jangan biarkan gerhana meraja,
hadirkan cinta seterang purnama.
Kereta 3
: angin
Setia merasuki helaan nafas,
darma tiada kenal tuntas.
Mengalirkan sejuk ke rongga dada,
menghalau resah denyut kereta.
Tak teraba mengalir ada,
tak berupa semilir terasa.
Menyeka peluh segala kasta,
sebelum keluh menjadi kata.
Kereta 4
: bumi
Pintu hatimu kesabaran ibu,
merangkum semua tanpa menggerutu.
Ketulusan kasih hangat menjaga,
desah nafas seisi rahimnya.
Tanpa sanjungan teguh bekerja,
tanpa perhatian kukuh langkahnya.
Walau umpat mendera raga,
tekun melaju tebarkan cinta.
Kereta 5
: bintang
Seterang bintang penunjuk arah
menuntun laju di jalur terarah.
Secercah cahaya di luas angkasa
teladan hidup pedoman jiwa.
Penuntun arah cemerlang bintang,
selempang rel tiada menyimpang.
Taburkan bintang di rongga dadamu,
ketika gelap menyesatkan laju.
Kereta 6
: samudera
Gua garbamu seluas samudera,
aliran keluh kesah bermuara.
Selembut kasih ikhlas menerima,
menjadi wadah segala rupa.
Walau gelombang berderak membuncah,
janganlah tumpah menjadi amarah.
Ketika rindu menyesaki pesisir,
pastikan senyummu hadir mengalir.
Kereta 7
: api
Menjaga gelora nyala api,
jangan sampai terbakar diri.
Pastikan kobar menempa besi,
memahat jalur arah kendali.
Jangan pernah semangat padam,
membiarkan tubuh disergap muram.
Ketika laju dikuasai nafsu,
gerbong keyakinan menyerpih abu.
Kereta 8
: langit
Mengandung benih segala cuaca,
memayungi hajat hidup semesta.
Terang lengkungkan senyuman indah,
hujan merintihkan luapan berkah.
Ketika petir menyambar sinyal,
tetapkan langkah walau tersengal,
Melakoni manis getir kenyataan,
keadilan hukum harus dikucurkan.
Jumat, 07 Maret 2014
Celana Jojon
Celana Jojon
Puisi Setiyo Bardono
Di stasiun tua, juru tawa menggumamkan kata, "kasihan kereta, mondar-mandir tanpa celana."
Juru tawa menyerahkan celananya pada kereta, "Pakailah celanaku, agar bahagia hidupmu."
Hidup tanpa celana, bagai taman tak berbunga, Oh begitulah kata juru tawa.
Tanpa celana, juru tawa meninggalkan kereta, "Maaf, aku ada panggilan melawak ke Surga."
Kereta mencoba celana juru tawa. "Baru kali ini ada celana yang pas," katanya sambil bergaya.
Sepanjang jalan, kereta tersenyum bahagia. Ia terkenang celana masa kecilnya yang hilang entah kemana.
Kerinci, 7 Maret 2014
Di stasiun tua, juru tawa menggumamkan kata, "kasihan kereta, mondar-mandir tanpa celana."
Juru tawa menyerahkan celananya pada kereta, "Pakailah celanaku, agar bahagia hidupmu."
Hidup tanpa celana, bagai taman tak berbunga, Oh begitulah kata juru tawa.
Tanpa celana, juru tawa meninggalkan kereta, "Maaf, aku ada panggilan melawak ke Surga."
Kereta mencoba celana juru tawa. "Baru kali ini ada celana yang pas," katanya sambil bergaya.
Sepanjang jalan, kereta tersenyum bahagia. Ia terkenang celana masa kecilnya yang hilang entah kemana.
Kerinci, 7 Maret 2014
Selasa, 04 Maret 2014
Kamus Bahasa
Kamus Bahasa
Puisi Setiyo Bardono
Menyusuri lorong gerbong, lelaki tua tak lelah membopong tumpukan kamus beragam bahasa.
Ia bermimpi tubuh kereta tak hanya dipenuhi makian, sebab ada bermilyar pilihan kata.
Tapi ia ragu karena hanya sedikit orang yang menghentikan langkahnya, sekedar bertanya atau menawar dengan harga rendah.
Depok Lama, 20 September 2011
Celana di Atap Kereta
(Raden Mas Brandjangan membaca puisi Celana di Atap Kereta
di Panggung Sastra Reboan - Warung Apresiasi Sastra Bulungan, Blok M, Jakarta)
------------------------------------------------------------------------------------
Celana di Atap Kereta
Puisi Setiyo Bardono
Di basah persendian kereta, engkau tak kuasa menahan bocoran air mata.
"Bagaimana cara menghalau hujan?" isakmu.
"Lemparkan celana ke atap kereta, tapi jangan sampai terkena muka."
Mendengar jawabku seketika rinai tawa jatuh berderai ke lantai kereta.
"Sudah banyak celana berjajar di atap kereta, tapi hujan masih turun jua," sangkalmu.
"Sebab mereka melempar celana beserta isinya. Itu hanya mengundang hujan air mata."
Gondangdia - Depok via Stasiun Kota, 27 September 2010
Senin, 03 Maret 2014
Ayam Desa Masuk Kota
Ayam Desa Masuk Kota
Puisi Setiyo Bardono
Walau berbagai persoalan deras mendera, jangan menyerah seperti ayam desa yang kehilangan tajinya ketika kereta berderak memasuki kota.
Walau gerbong panas memanggang tubuh, jangan melempem seperti ayam desa yang lunak tulangnya ketika kereta kremes-kremes memasuki kota.
Juanda, 3 April 2010
Puisi Setiyo Bardono
Walau berbagai persoalan deras mendera, jangan menyerah seperti ayam desa yang kehilangan tajinya ketika kereta berderak memasuki kota.
Walau gerbong panas memanggang tubuh, jangan melempem seperti ayam desa yang lunak tulangnya ketika kereta kremes-kremes memasuki kota.
Juanda, 3 April 2010
Minggu, 02 Maret 2014
KEPOMPONG
KEPOMPONG
: Penjelajah Atap Kereta
Puisi Setiyo Bardono
Sebotol cairan sari kepompong menyiram geliat ulat bulu,
sekejap menjelma aneka warna kupu‐kupu.
Kepak amarah berhamburan dari pucuk kereta,
menerbangkan batu‐batu pecahkan bening kaca.
“Kalian selalu memaksa kami terbang,
sementara tak tersedia taman lapang.”
Depok Lama, 26 Mei 2011
Tabah Dalam Perjalanan
Tabah Dalam Perjalanan
Puisi Setiyo Bardono
Di rahim kereta, seorang ibu berdiri terguncang, tak henti mengusap perut buncitnya.
"Nak, semoga engkau tidak merasakan guncangan yang ibu rasakan. Lelaplah engkau dalam hangat rahimku."
Di rahim kereta, seorang ibu yang masih juga berdiri terguncang, tak henti mengusap perut buncitnya. Sementara cericit roda kereta menyusupkan ngilu ke segenap sendi kesadarannya.
"Nak, jika kelak engkau dewasa, semoga selalu ada tempat di hatimu untuk ibu, sebagaimana selalu ada tempat di hati ibu untuk anak‐anakku."
Thamrin, 16 Juli 2010
Sabtu, 01 Maret 2014
Salak Pondoh
Salak Pondoh
Puisi Setiyo Bardono
Tangan penuh duri, bisa melindungi dan melukai.
Tak rela anaknya tergores luka,
ibu merajut keringat air mata.
Serupa jalinan atap sirap,
mengayomi penghuni rumah dari angin kalap.
Panen raya mengundang derak kereta,
melelehkan langgam lara.
Usia beranjak dewasa,
saatnya melepas anak mengembara.
Tercerai berai, berpondoh‐pondoh menuju kota.
Seorang diri atau sepasang.
Mengendong beban atau melenggang.
Gerbong‐gerbong seperti menebarkan jala nelayan.
Merangkum segala rasa dalam satu ikatan.
Mengecap kecut, sepet dan manis kehidupan.
Hingga suatu saat,
dalam transaksi pelelangan ikan, nasib akan merengutmu.
Roda kereta menggelindingkan keras hatimu,
menjadi teman setia gumpalan batu.
Depok Lama, 28 Juni 2011
Puisi Setiyo Bardono
Tangan penuh duri, bisa melindungi dan melukai.
Tak rela anaknya tergores luka,
ibu merajut keringat air mata.
Serupa jalinan atap sirap,
mengayomi penghuni rumah dari angin kalap.
Panen raya mengundang derak kereta,
melelehkan langgam lara.
Usia beranjak dewasa,
saatnya melepas anak mengembara.
Tercerai berai, berpondoh‐pondoh menuju kota.
Seorang diri atau sepasang.
Mengendong beban atau melenggang.
Gerbong‐gerbong seperti menebarkan jala nelayan.
Merangkum segala rasa dalam satu ikatan.
Mengecap kecut, sepet dan manis kehidupan.
Hingga suatu saat,
dalam transaksi pelelangan ikan, nasib akan merengutmu.
Roda kereta menggelindingkan keras hatimu,
menjadi teman setia gumpalan batu.
Depok Lama, 28 Juni 2011
5 Puisi Kereta di Harian Indo Pos
5 Puisi Kereta di Rubrik HariPuisi - Koran Indo Pos, 31 Agustus 2013
Puisi Setiyo Bardono
dengan patahan rel yang terlunta di persilangan duka,
ia menggores sepasang larik alis mata.
dengan kepingan cat yang terkelupas di bahu kereta,
ia memulas bibir dan memercikkan rona di pipinya.
bening mata memutarkan binar bersahaja,
ketika cahaya laju merambati lajur alisnya.
ditelan derak, tak henti ia membelai wajah kekasihnya,
seolah ingin mengakrabi retak ngilu di hati jiwanya.
Depok - Gondangdia, 140509
-----------------------------------
KESABARAN IBU
Puisi Setiyo Bardono
setiap kali penantian melumuti peron
aku selalu terkenang nasihat ibu
ketika melepas kepergianku menuju kota
"Belajarlah kesabaran dari kereta."
dan akhirnya aku tahu,
mengapa engkau tak pernah mau
mengantar aku hingga tepian jalan raya
apalagi sampai di gerbang stasiun tua.
ternyata engkau ingin lekas menanak airmata,
sebagai ragu yang terselipi rasa percaya,
sebagaimana gelisah perempuan di separuh jiwa.
setiap kali penantian melumuti peron
aku selalu terkenang kesabaran ibu
yang tak pernah mengenal keluh kata
walau kenakalan terlalu sering sesakkan dada.
setiap kali penantian melumuti peron
kuselipkan wajah ibu di sesak puisiku.
Stasiun Manggarai, 060409
-----------------------------------
RANJANG IBU
Puisi Setiyo Bardono
berderit sekujur lorong rahimmu
disesaki sepasang ranjang bambu
menyibak tubuh-tubuh sepenuh ngilu
kutafsir mimpir buruk di pagi laju
lamat kudengar rintih ibu
terjebak di ruas-ruas bambu
Ada yang meraut harapan diseok langkah
serapi bilah-bilah membaringkan lelah
samar-samar kubaca selarik puisi cinta
meruapkan sesuap pencarian tak kenal tua.
seperti menimang resah tiada terkira,
harusnya ibu lelap dengan senyum bahagia.
Stasiun Depok-Gondangdia, 120509
-----------------------------------
MERAYAPI GELAP
Puisi Setiyo Bardono
tubuhtubuh merayapi gelap kereta
mengendus aroma kayu papan nama
stasiun yang mungkin tidak tertera
di karcis basah terlumat dera
ada yang diamdiam membangun
sarang dari remahremah mimpi
ketika lelah menyergap lamun
kuharap tak ada amuk ayunan sapu
pada sarang yang mengerus kakikaki buku
ibu, anakmu tergagap dalam pencarian makna
terlunta dalam bising riuh pusaran kata.
Stasiun Kota-Gondangdia, 130609
-----------------------------------
PEREMPUAN, AJARI AKU MENAKAR BIMBANG
Puisi Setiyo Bardono
perempuan, berdirilah di pelupuk kantuk
ajari aku menakar bimbang bertumpuk.
biar kubaca lingkar tahun di parasmu,
adakah itu serenta risau di jiwaku.
perempuan, tersenyumlah di pelupuk kantuk
ajari aku menakar bimbang bertumpuk.
biar kueja gurat letih di wajahmu,
adakah itu sekental gulau di hatiku.
perempuan, terkantuklah di pelupuk kantuk
ajari aku menukar bimbang bertumpuk.
biar kutuntun selarik harapan di mimpimu,
menuju tidur yang membangunkan lelapku.
Stasiun Gondangdia-depok, 080109
-----------------------------------
Bukan Asongan Biasa
(Penyair Pratiwi Setyaningrum sedang membacakan puisi Bukan Asongan Biasa di Panggung Sastra Reboan, Warung Apresiasi Sastra Bulungan - Blok M)
Bukan Asongan Biasa
Puisi Setiyo Bardono
Merasa tak bisa membahagiakan dan memenuhi semua permintaan kekasihnya, seorang perempuan yang separuh hidupnya terperangkap dalam kaca, lelaki itu mempertaruhkan pundaknya, memikul beban berat pernak‐pernik yang menghiasi perempuan.
"Dalam keadaan terjepit jangan pernah menyerah, seperti rambut perempuan, ketika terjepit makin indah."
Maka dari peron ke peron, pernak‐pernik yang dijajakannya selalu dikerubuti wanita. Pada saat itu ia merasa bisa membahagiakan perempuan yang dikasihinya.
"Aku bukan asongan biasa. Aku pemuja wanita."
Depok, 25 Juli 2007
Jumat, 28 Februari 2014
Puisi Kuliner di Stasiun dan Sekitarnya
Kulit Tahu Sumedang
Puisi
Setiyo Bardono
Sepagi ini pasti ayah sedang sibuk menumpuk mentah batu bata dalam
gubuk bambu beratap jelaga, dan menjajarkan kayu‐kayu untuk dijejalkan ke
lubang tungku. Serupa meracik bara api penyambung nafas lokomotif tua, tapi
tetap perkasa mengelilingi kebun tebu di pekarangan pabrik gula.
Semoga malam menghadirkan purnama hingga tipis aroma dupa menyengatkan
wangi doa, "Matanglah semerah kulit kereta."
Ayah, ingatkah engkau pada garpu injak yang pernah kupatahkan giginya?
sekarang, garpu dengan gigi tinggal dua, setia menemaniku menapaki riuh kota.
Aku memang tak seulet engkau mengolah tanah, kerja berbasah keringat tapi
dihargai upah yang payah.
Dalam permukaan tahu, selalu kutemukan keriput tanganmu. Seperti kasar
tubuh kereta, tapi selalu tersedia ruang hangat di relungnya. Tempat aku
singgah, ketika perjalanan terasa begitu lelah.
Depok Lama, 19 Januari 2011
----------------------------------------------------------------
Puisi
Setiyo Bardono
Kenyataan seperti tajam gunting,
mengoyak tubuh jatuh berkeping.
Telah kuserahkan serpihan raga,
sebelum tepung merangkum kita.
Luka mengaduh serpihan kaca,
meleleh kuah merah air mata.
Ketika kehidupan berderak rapuh,
kita tak bisa mencerna utuh.
Stasiun Depok Lama, 20 April 2010
----------------------------------------------------------------
Tahu Bulat
Puisi
Setiyo Bardono
Tak sudi dikatakan bermental lembek dan terkungkung dalam kotak‐kotak
sempit pemikiran, tahu membulatkan tekad sebelum terjun di panas minyak.
Kulit yang mengeras menciptakan rongga, di mana engkau bisa singgah
untuk menghayati nikmat yang bertaburan di semesta kehidupan.
Walau lelah jangan menyerah, seperti pedas rawit yang membakar lidah:
sesaat sudah. Dan engkau akan kembali dalam rengkuhan‐Nya.
Stadela, 23 April 2010
----------------------------------------------------------------
Serpihan Kamir di Sudut Bibirmu
Puisi
Setiyo Bardono
Dengan pompa batang ketela, jemari daun menggelembungkan selidi akar
yang terlelap dibekap subur tanah. Selalu ada hembusan harapan ketika
berdesakan disekap gelap.
Karena itu, haruskah aku berulang menjawab pertanyaanmu: bagaimana aku
bisa setia berdesakan dalam gerbong pengap ini? sementara kulihat tawa kecil
hinggap di lengkung bibirmu.
Jika kemudian kubisikkan sebait puisi tentang duka, apakah engkau akan
peduli? bahkan ketika ragi di sekujur badan kereta melumatkan tubuh ini.
Engkau terdiam seraya mengecilkan api tungku yang memanggang sederet
wajah rembulan. Aroma wangi separuh gosong berhembus dari balik jeruji peron
menyihir seisi gerbong.
Dari buram kaca, kulihat air matamu perlahan menetes menjatuhi adonan.
Seketika bimbang menghampiri selembar tisu, entah mana yang harus segera
diseka: air mata di sudut matamu atau serpihan kamir di sudut bibirmu.
Sementara laju kereta tak henti menderakkan ngilu.
Tebet ‐ Gondangdia, 10 Mei 2010
----------------------------------------------------------------
Lontong Kereta
Puisi
Setiyo Bardono
Di usia belia, harapan selembar daun pisang pupus tercabik terik. Air
mata menggenang di baju lusuh perempuan tua, bercak telutuh tak akan pernah
bisa diseka.
Di telapak tanganmu, hijau sapu tangan membungkus sekepal penat.
Seperti deru kereta yang berderak memasuki peron mata: kenyang dalam
penglihatan, hanyalah kesan. Engkau tidak akan pernah mengendurkan langkah.
Sebab engkau tahu, bagaimana gerbong kereta serupa perut yang selalu
bisa diisi. Meski sesak, mulut pintu selalu menyediakan sela bagi siapapun yang
mau merangsek ke dalamnya.
Sisa‐sisa ampas ilmu pengetahuan, akan menggenangi tubuhmu dalam merah
kenangan. Hingga suatu saat engkau pasti akan kembali mencicipi manis getir
perjalanan.
Serupa sengatan pedas membakar lidah. Engkau pasti menggerutu saat
itu, tapi kembali kau siapkan tubuh terlumat deru.
Sudirman ‐ Depok ‐ Thamrin, 5‐9 Agustus 2010
Mejeng di Acara Ada-Ada Saja Trans TV - 19 Juni 2010
Episode ke 2 Ada-ada saja (AAS) sebuah program baru di Trans TV akan mengulas kehidupan di KRL (Kereta Rel Listrik) yang melintas di Jabodetabek (Jakarta, bogor, depok, tangerang, bekasi). Ada banyak hal menarik bisa ditemukan di gerbong KRL, Stasiun dan lingkungan sekitarnya. Mulai dari sesak penumpang, keberadaan asongan, pengemis, pedagang buah, pedagang perabot, penumpang di atap dll. Ada juga romantikanya dari ketemu jodoh di kereta hingga perselingkuhan.
Salah satu segmen terpenting adalah keberadaan seorang penumpang KRL yang suka menulis puisi bertema KRL. Kabarnya seseorang tersebut mirip saya. Maka untuk memastikan apakah orang tersebut benar-benar saya atau hanya mirip saya, silakan kalau ada waktu untuk nonton cuplikan video Ada-Ada Saja yang tayang pada Sabtu, 19 Juni 2010, Pukul 14.30 WIB.
Kamis, 27 Februari 2014
2 Puisi Kereta di Buletin Jejak
Puisi Setiyo Bardono
Pada dinding stasiun kutempelkan tanya,
"Berapa saldo tersisa di saku kerja."
Dinding mengerdipkan angka.
Sedikit lagi mendekati denda.
Saatnya mengetuk pintu,
mengisi bekal seminggu.
Untuk perjalanan sejengkal,
kita cermat menghitung bekal.
Jika nanti pinalti menjemput ruh menuju
kekal,
seberapa banyak kita membawa bekal?
Ketika malam menyelami senyap,
semoga dinding hati bisa menjawab.
Di kehidupan tergesa,
banyak pertanyaan lenyap terusik laju
kereta.
Depok, 23/1/2014
--------------------------------------------
SIAGA SATU
Puisi Setiyo Bardono
Puisi Setiyo Bardono
Banjir beranjak surut.
Langit bocor halus.
Jakarta masih cemas membaca ketinggian air
Katulampa.
Sungai belum lelah melimpahkan air
membanjiri ibukota.
Stasiun Bogor siaga satu.
Kereta bergerak membawa ribuan pekerja,
bersiap menggenangi Jakarta.
Adakah yang membawa roti unyil,
untuk mengganjal perut si kecil.
Di pengungsian mereka mengigil.
Adakah yang menenteng talas Bogor, untuk
direbus atau dikukus,
menghangatkan harapan agar tak pupus.
Depok, 20 Jan 2014
Rabu, 26 Februari 2014
Puisi Kereta Mejeng di Pinggiran Danau Zug, Swiss
Puisi Jika Tulang Rusukmu Patah karya saya ikut meramaikan acara Jemuran Puisi di Pinggir Danau Zug, Switzerland, Kamis, 2 Agustus 2012. Keseluruhan ada 150 puisi dari berbagai bahasa dan tema serta bangsa yang meramaikan acara tersebut. Pengunjung yang hadir bisa mengambil puisi tsb atau membacakannya di tepian danau Zug.
Jika Tulang Rusukmu Patah
Puisi Setiyo Bardono
Jika tulang rusukmu patah
karena sesak kereta menghimpit dada,
berdoalah agar ia menjelma
sayap bidadari belahan jiwa
yang menuntun limbung langkahmu
menyibak serpihan ranting terserak
menuju sebentuk cinta sejatinya.
Karena serusuh apapun,
rahim selalu menjanjikan tangis kelahiran.
Jika tulang rusukmu patah
karena sesak kereta menghimpit dada,
berdoalah agar luka mengangga
menjelma ruang damai cinta.
Gondangdia - Depok, 21 Juli 2008
--------------------------------
When your rib's broken
writer : Setiyo Bardono
When your rib's broken
as the congested train squeeze your chest
pray that she will embody
the angel's wings of your better half
leading your unsteady step
put aside pieces of scattered twigs
to reach an honest true love
as no matter how bad is the riot
wombs will always promise to release crying of births
When your rib's broken
as the congested train squeeze your chest
pray that the gaping wound
would transform to a space of peaceful love.
Gondangdia - Depok, July, 21th 2008
4 Puisi Kereta di Buku Antologi Resonansi
Sajak Pendek ttg Bangku Panjang Stasiun
Puisi Setiyo Bardono
/1/
dengan raga terluka
rel kereta menemu cinta
/2/
dengan tubuh tak utuh
sepenggal rindu terengkuh
/3/
ketika rindu berkubang batu
resah meletup ngilu
/4/
ketika tangan kaki terpasung
rindu berderak limbung
/5/
ketika terjerat riuh pertemuan
cinta terisak berangkulan
depoklama, 9 Feb 2010
---------------------
Pada Beranda Peron
Puisi Setiyo Bardono
pada beranda peron yang terguyur terik matahari, aku mencium aroma sampah yang meruap bersama sisa hujan. hempasan banjir bandang terbaca pada deretan lapak yang terdampar di pesisir berbatu. tidak ada bendungan jebol atau sungai meluap, hanya angin yang akan datang bersambut lengang. wangi gorengan tahu membawa geliat kehidupan di rahim perempuan yang menyembunyikan nyala api di sisi lapak.
pada mengkilap pintu yang baru terpasang, kulihat wajah ibu kereta terseok memasuki beranda. dari sepasang matanya yang retak aku mengeja duka yang tak sempat menjadi kata. walau dada sesak, rahimnya selalu hangat merangkum keluh anak-anak.
sepanjang perjalanan, air matanya deras menetes, mengumpal menjadi bongkahan-bongkahan batu, menyisakan banyangan kelam di kilap pintu.
Depoklama, 17 Feb 2010
----------------------
Perempuan Bermata Sinyal
Puisi Setiyo Bardono
dalam teduh berawan kerudung, sepasang sayap elang mengembara dalam luas langit wajahmu. telah kau goreskan selarik jiwa yang menghanyutkan angan dalam keluasan kembara. hingga cahaya sinyal terpukau, jatuh tergelincir di sumur matamu. perjalanan hati seketika kacau. Haruskah kuganti gerowong sinyal dengan sepasang matamu, agar tak sesat ketika memulai laju.
Gerbong3, 18 Februari 2010
--------------------------
Depok +93 M
Puisi Setiyo Bardono
dengan selang bening yang mengalirkan gemuruh ombak, engkau menandai permukaan sungai batu di bisu papan nama stasiun. bersama buih asin yang merasuki luka-luka di kakiku, bergerbong-gerbong beban merayap dan mendamparkan resah di gemuruh pantai hatimu.
di pesisir peron aku menanti anak laut datang membawa tangkapan besar. pada cucuran keringat yang membasahi legam kulitmu, aku menaruh sepercik harap. pada liat rusuk yang mendayung kekar tubuh, engkau pasti bisa menyangga beban tak terkira. sebagaimana engkau telah terbiasa mengarungi ganas laut luas.
tapi ada resah yang menyelinap bersama desir angin laut. Kuharap engkau tidak datang bersama gelombang besar yang memporak-porandakan periuk ibuku.
stadela 11 Feb 2010
Selasa, 25 Februari 2014
4 Puisi Kereta di Buku Empat Amanat Hujan
KELAHIRAN KURAWA
Puisi Setiyo Bardono
Tak mau terpilih sebagai
pasangan hidup Destarastra, lelaki buta yang setia menunggu di pesisir peron.
Dewi Gandari melumuri tubuh kereta dengan darah dan sisik ular. Dengan
keyakinan sepenuh gemuruh, tubuhnya melaju seanggun riuh.
"Siapapun tak akan sudi memiliki istri bertubuh amis."
Aroma tak sedap tubuh kereta menghampiri peron, membangkitkan pancaindra naga yang merasuki jiwa Destarastra. Seketika amis tercium sewangi rangkaian bunga delapan rupa. Maka direngkuhlah tubuh Dewi Gandari.
"Engkaulah belahan jiwa yang selama ini kucari."
Disergap kecut kenyataan, Dewi Gandari bersumpah menutup mata selama matahari belum tenggelam dan tak menyalakan lampu di sekujur tubuh kereta ketika gelap menyelimuti malam.
"Dengan cara inilah, aku bisa merayakan gelap yang dirasakan Destarastra."
Dalam perjalanan tapabrata, setiap kali lajunya singgah di peron stasiun, bongkahan-bongkahan daging berhamburan keluar dari sesak pintu rahimnya. Dan lelaki buta yang setia menunggu akan menutup bongkahan daging itu dengan sobekan kertas koran.
Seiring bising laju kereta, daging-daging itu menjelma menjadi bayi, kemudian tumbuh dewasa sebagai Kurawa.
"Dan setiap kali lajunya berderak memasuki stasiun, mereka berebut memasuki pintu kereta. Berlomba merengkuh hangat pelukan ibunya."
"Siapapun tak akan sudi memiliki istri bertubuh amis."
Aroma tak sedap tubuh kereta menghampiri peron, membangkitkan pancaindra naga yang merasuki jiwa Destarastra. Seketika amis tercium sewangi rangkaian bunga delapan rupa. Maka direngkuhlah tubuh Dewi Gandari.
"Engkaulah belahan jiwa yang selama ini kucari."
Disergap kecut kenyataan, Dewi Gandari bersumpah menutup mata selama matahari belum tenggelam dan tak menyalakan lampu di sekujur tubuh kereta ketika gelap menyelimuti malam.
"Dengan cara inilah, aku bisa merayakan gelap yang dirasakan Destarastra."
Dalam perjalanan tapabrata, setiap kali lajunya singgah di peron stasiun, bongkahan-bongkahan daging berhamburan keluar dari sesak pintu rahimnya. Dan lelaki buta yang setia menunggu akan menutup bongkahan daging itu dengan sobekan kertas koran.
Seiring bising laju kereta, daging-daging itu menjelma menjadi bayi, kemudian tumbuh dewasa sebagai Kurawa.
"Dan setiap kali lajunya berderak memasuki stasiun, mereka berebut memasuki pintu kereta. Berlomba merengkuh hangat pelukan ibunya."
Stasiun Depok Lama, 6 April
2010
------------------------------------------
SAYAP KEJUJURAN YUDHISTIRA
Puisi Setiyo Bardono
sayap-sayap kejujuran
menjaga laju kereta
tetap melayang menyusuri
belantara kata.
di kabin, sesobek cerita
meresahkan Yudhistira,
ksatria tak pernah
berbohong sepanjang hidupnya.
Begawan Dorna yang tercabik
kesadaran jiwanya
menghadang di peron, mencari kebenaran berita.
"Benarkah Aswatama telah gugur di medan laga?"
dalam gemuruh kebimbangan, Yudhistira lirih berkata,
“Ya, Guru yang Agung, Aswatama memang telah tiada.”
sayap kejujuran seketika terpatahkan dusta,
tanpa bisa direkatkan kelanjutan kata.
"Naro va kunjaro va, entah gajah atau manusia"
sejak itu, roda kereta tak lagi melayang di udara,
terseok menyusuri kebohongan demi kebohongan dunia.
Stasiun Depok Lama, 4 Mei 2010
------------------------------------------
JEJAK SHINTA DI MATAMU
Puisi Setiyo Bardono
dengan hitam arang sisa pembakaran tubuh Shinta, engkau melingkari bingkai
mata, dalam tegas guratan bibir perigi di mana bening memaksa pengembara
singgah membersihkan debu-debu di raut wajah.
dengan cairan tanah sisa pemakaman tubuh Shinta, engkau melumuri bulu mata
menjadi lengkung wessel yang memerangkap laju purnama menghampiri lentik peron
dimana letih penantian menuai sedikit harapan.
ditelan laju kereta, terang
bulan meninggalkan jejak indah di matamu.
Depoklama-Gondangdia, 5
Maret 2010
-----------------------------------------------
PANAH KARNA
Puisi Setiyo Bardono
Ketika laju kereta berderak mendekati tubuhnya,
paku yang terpasung di atas rel menjeritkan kutuk.
"Engkau akan menghadapi kematian yang lebih menyakitkan."
Terlumat deru, tubuh kaku itu terpelanting ke batu-batu.
Di pinggiran rel, Karna berkeringat menajamkan pipih paku.
"Dengan mata panah, aku ingin menjadi ksatria."
Dengan busur dan puluhan anak panah di pundak Karna,
telah mantap langkah hatinya menemui Begawan Durna.
"Wahai Sang Guru, ajari aku mengendalikan deru panah."
Dalam pandangan renta, ditingkahi gemuruh laju kereta,
Durna mengenali tubuh lusuh yang bersimpuh di hadapannya.
"Aku Guru para ksatria. Engkau hanya anak masinis kereta."
Dalam kerisauan hatinya, kegalauan lain seketika mendera Karna,
kegaduhan di semesta peron, bergerbong risau di sekujur kereta.
"Banyak jalan menjadi ksatria. Aku akan berlatih menajamkan
telinga."
Stasiun Depok Lama, 14 April 2010
Titian Rel Air Mata
Puisi Setiyo Bardono
Tahukah engkau darimana asal rel kereta?
rel kereta lahir dari cucuran air mata.
Setelah dusta mematahkan sepasang sayapnya,
kereta menanggung jejalan beban tiada terkira.
Menekuri limbung laju tanpa tahu arah menuju
air matanya tak henti bercucuran sederas risau.
Perlahan roda-roda nasib melindas sepasang lelehannya,
hingga endapan waktu membentangkan semangat membaja.
Walau pahit, hidup harus terus berderak, batinnya.
Dan ia pun setia menziarahi titian rel air matanya.
Stasiun Depoklama, 16 Juni 2009
Dua Puluh Detik! Yang Menentukan
Puisi Setiyo Bardono
Dua puluh detik! Pintu KRL ekonomi seperti lubang pembuangan yang
menghamburkan segala kotoran yang sudah berdesakan dan mati-matian
ditahan dari stasiun sebelumnya, tapi tak bisa bernafas lega karena...
Dua puluh detik! itu juga, pintu KRL ekonomi seperti lubang perawan yang
diperkosa bertubi-tubi tanpa kenal ampun oleh hasrat yang berdesakan
dan tak bisa menunggu kereta berikutnya, karena kesempatan adalah...
Dua puluh detik! yang tidak boleh disia-siakan, setelah sekian lama
menunggu dalam ketidakpastian, tanpa ada perhatian yang menenangkan,
tanpa ada pemberitahuan yang memberi harapan, dan dalam...
Dua puluh detik! penumpang hanyalah kotoran yang tersia-sia, dan
selamanya dalam…
Dua puluh detik! kita akan memperkosa dan terus memperkosa.
Depok - Cawang, sebuah perjalanan panjang
Selasa, 18 Februari 2014
Menyaruk Iba
Puisi Setiyo Bardono
Sepasang tangan telanjang menyaruk sampah,
sepertinya telah dituntaskan segenap daya
mengais iba dalam sesak kotor lantai kereta,
menghamburkan kesah ikatan sapu lidi tua,
mengurat tanya uang logam di saku kemeja,
menjadi dekam yang bungkam ragu beranjak.
“Setumpuk iba mana yang harus kusapa?”
KRLEko, 29 sept 2005
Langganan:
Postingan (Atom)