Jumat, 28 Februari 2014

Puisi Kuliner di Stasiun dan Sekitarnya


Kulit Tahu Sumedang

Puisi Setiyo Bardono

Sepagi ini pasti ayah sedang sibuk menumpuk mentah batu bata dalam gubuk bambu beratap jelaga, dan menjajarkan kayu‐kayu untuk dijejalkan ke lubang tungku. Serupa meracik bara api penyambung nafas lokomotif tua, tapi tetap perkasa mengelilingi kebun tebu di pekarangan pabrik gula.

Semoga malam menghadirkan purnama hingga tipis aroma dupa menyengatkan wangi doa, "Matanglah semerah kulit kereta."

Ayah, ingatkah engkau pada garpu injak yang pernah kupatahkan giginya? sekarang, garpu dengan gigi tinggal dua, setia menemaniku menapaki riuh kota. Aku memang tak seulet engkau mengolah tanah, kerja berbasah keringat tapi dihargai upah yang payah.

Dalam permukaan tahu, selalu kutemukan keriput tanganmu. Seperti kasar tubuh kereta, tapi selalu tersedia ruang hangat di relungnya. Tempat aku singgah, ketika perjalanan terasa begitu lelah.

Depok Lama, 19 Januari 2011
----------------------------------------------------------------

Bakwan Fantasi

Puisi Setiyo Bardono

Kenyataan seperti tajam gunting,
mengoyak tubuh jatuh berkeping.

Telah kuserahkan serpihan raga,
sebelum tepung merangkum kita.

Luka mengaduh serpihan kaca,
meleleh kuah merah air mata.

Ketika kehidupan berderak rapuh,
kita tak bisa mencerna utuh.

Stasiun Depok Lama, 20 April 2010

----------------------------------------------------------------


Tahu Bulat

Puisi Setiyo Bardono

Tak sudi dikatakan bermental lembek dan terkungkung dalam kotak‐kotak sempit pemikiran, tahu membulatkan tekad sebelum terjun di panas minyak.

Kulit yang mengeras menciptakan rongga, di mana engkau bisa singgah untuk menghayati nikmat yang bertaburan di semesta kehidupan.

Walau lelah jangan menyerah, seperti pedas rawit yang membakar lidah: sesaat sudah. Dan engkau akan kembali dalam rengkuhan‐Nya.

Stadela, 23 April 2010

----------------------------------------------------------------

Serpihan Kamir di Sudut Bibirmu

Puisi Setiyo Bardono

Dengan pompa batang ketela, jemari daun menggelembungkan selidi akar yang terlelap dibekap subur tanah. Selalu ada hembusan harapan ketika berdesakan disekap gelap.

Karena itu, haruskah aku berulang menjawab pertanyaanmu: bagaimana aku bisa setia berdesakan dalam gerbong pengap ini? sementara kulihat tawa kecil hinggap di lengkung bibirmu.

Jika kemudian kubisikkan sebait puisi tentang duka, apakah engkau akan peduli? bahkan ketika ragi di sekujur badan kereta melumatkan tubuh ini.

Engkau terdiam seraya mengecilkan api tungku yang memanggang sederet wajah rembulan. Aroma wangi separuh gosong berhembus dari balik jeruji peron menyihir seisi gerbong.

Dari buram kaca, kulihat air matamu perlahan menetes menjatuhi adonan. Seketika bimbang menghampiri selembar tisu, entah mana yang harus segera diseka: air mata di sudut matamu atau serpihan kamir di sudut bibirmu. Sementara laju kereta tak henti menderakkan ngilu.

Tebet Gondangdia, 10 Mei 2010
----------------------------------------------------------------

Foto: Budhe Muni Lestari

Lontong Kereta

Puisi Setiyo Bardono

Di usia belia, harapan selembar daun pisang pupus tercabik terik. Air mata menggenang di baju lusuh perempuan tua, bercak telutuh tak akan pernah bisa diseka.

Di telapak tanganmu, hijau sapu tangan membungkus sekepal penat. Seperti deru kereta yang berderak memasuki peron mata: kenyang dalam penglihatan, hanyalah kesan. Engkau tidak akan pernah mengendurkan langkah.

Sebab engkau tahu, bagaimana gerbong kereta serupa perut yang selalu bisa diisi. Meski sesak, mulut pintu selalu menyediakan sela bagi siapapun yang mau merangsek ke dalamnya.

Sisa‐sisa ampas ilmu pengetahuan, akan menggenangi tubuhmu dalam merah kenangan. Hingga suatu saat engkau pasti akan kembali mencicipi manis getir perjalanan.

Serupa sengatan pedas membakar lidah. Engkau pasti menggerutu saat itu, tapi kembali kau siapkan tubuh terlumat deru.

Sudirman Depok Thamrin, 59 Agustus 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar