Selasa, 25 Februari 2014

4 Puisi Kereta di Buku Empat Amanat Hujan


KELAHIRAN KURAWA
Puisi Setiyo Bardono

Tak mau terpilih sebagai pasangan hidup Destarastra, lelaki buta yang setia menunggu di pesisir peron. Dewi Gandari melumuri tubuh kereta dengan darah dan sisik ular. Dengan keyakinan sepenuh gemuruh, tubuhnya melaju seanggun riuh.

"Siapapun tak akan sudi memiliki istri bertubuh amis."

Aroma tak sedap tubuh kereta menghampiri peron, membangkitkan pancaindra naga yang merasuki jiwa Destarastra. Seketika amis tercium sewangi rangkaian bunga delapan rupa. Maka direngkuhlah tubuh Dewi Gandari.

"Engkaulah belahan jiwa yang selama ini kucari."

Disergap kecut kenyataan, Dewi Gandari bersumpah menutup mata selama matahari belum tenggelam dan tak menyalakan lampu di sekujur tubuh kereta ketika gelap menyelimuti malam.

"Dengan cara inilah, aku bisa merayakan gelap yang dirasakan Destarastra."

Dalam perjalanan tapabrata, setiap kali lajunya singgah di peron stasiun, bongkahan-bongkahan daging berhamburan keluar dari sesak pintu rahimnya. Dan lelaki buta yang setia menunggu akan menutup bongkahan daging itu dengan sobekan kertas koran.

Seiring bising laju kereta, daging-daging itu menjelma menjadi bayi, kemudian tumbuh dewasa sebagai Kurawa.

"Dan setiap kali lajunya berderak memasuki stasiun, mereka berebut memasuki pintu kereta. Berlomba merengkuh hangat pelukan ibunya."

Stasiun Depok Lama, 6 April 2010
------------------------------------------

SAYAP KEJUJURAN YUDHISTIRA
Puisi Setiyo Bardono

sayap-sayap kejujuran menjaga laju kereta
tetap melayang menyusuri belantara kata.

di kabin, sesobek cerita meresahkan Yudhistira,
ksatria tak pernah berbohong sepanjang hidupnya.

Begawan Dorna yang tercabik kesadaran jiwanya
menghadang di peron, mencari kebenaran berita.

"Benarkah Aswatama telah gugur di medan laga?"

dalam gemuruh kebimbangan, Yudhistira lirih berkata,
“Ya, Guru yang Agung, Aswatama memang telah tiada.”

sayap kejujuran seketika terpatahkan dusta,
tanpa bisa direkatkan kelanjutan kata.

"Naro va kunjaro va, entah gajah atau manusia"

sejak itu, roda kereta tak lagi melayang di udara,
terseok menyusuri kebohongan demi kebohongan dunia.

Stasiun Depok Lama, 4 Mei 2010
------------------------------------------

JEJAK SHINTA DI MATAMU
Puisi Setiyo Bardono

dengan hitam arang sisa pembakaran tubuh Shinta, engkau melingkari bingkai mata, dalam tegas guratan bibir perigi di mana bening memaksa pengembara singgah membersihkan debu-debu di raut wajah.

dengan cairan tanah sisa pemakaman tubuh Shinta, engkau melumuri bulu mata menjadi lengkung wessel yang memerangkap laju purnama menghampiri lentik peron dimana letih penantian menuai sedikit harapan.

ditelan laju kereta, terang bulan meninggalkan jejak indah di matamu.

Depoklama-Gondangdia, 5 Maret 2010
-----------------------------------------------

PANAH KARNA
Puisi Setiyo Bardono

Ketika laju kereta berderak mendekati tubuhnya,
paku yang terpasung di atas rel menjeritkan kutuk.

"Engkau akan menghadapi kematian yang lebih menyakitkan."

Terlumat deru, tubuh kaku itu terpelanting ke batu-batu.
Di pinggiran rel, Karna berkeringat menajamkan pipih paku.

"Dengan mata panah, aku ingin menjadi ksatria."

Dengan busur dan puluhan anak panah di pundak Karna,
telah mantap langkah hatinya menemui Begawan Durna.

"Wahai Sang Guru, ajari aku mengendalikan deru panah."

Dalam pandangan renta, ditingkahi gemuruh laju kereta,
Durna mengenali tubuh lusuh yang bersimpuh di hadapannya.

"Aku Guru para ksatria. Engkau hanya anak masinis kereta."

Dalam kerisauan hatinya, kegalauan lain seketika mendera Karna,
kegaduhan di semesta peron, bergerbong risau di sekujur kereta.

"Banyak jalan menjadi ksatria. Aku akan berlatih menajamkan telinga."

Stasiun Depok Lama, 14 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar