Minggu, 30 Maret 2014

Kisah Kusut di Kereta



Kisah Kusut di Kereta
http://www.jurnas.com/halaman/26/2012-09-30/222120

Cerpen Setiyo Bardono

PESAN PENDEK

Kereta listrik kelas ekonomi dengan jejalan penumpang berderak menjauhi Jakarta. Cuaca sore lumayan cerah mengantar ribuan pekerja pulang menuju pinggiran ibukota.

Tubuhku berjuang menjaga keseimbangan badan dari desakan penumpang. Walaupun seharian beraktivitas, kekuatan penumpang kereta listrik tak pernah pudar. Bahkan kadang lebih dahsyat dari desakan di pagi hari. Begitu menggebunya hasrat orang untuk pulang.

Akhirnya posisi tubuhku terkunci tepat di belakang pasangan yang asyik berangkulan. Tidak peduli keadaan sekitar, seolah kereta hanya milik mereka berdua.

Dalam perkiraan pandangan, lelaki ini berumur sekitar empat puluh tahun. Sementara perempuan yang menyandarkan kepala di bahunya, kurang lebih berumur tiga puluh lima tahun. Rambutnya yang panjang meruapkan aroma wangi.

Pasti mereka adalah pasangan suami-istri yang sangat romantis. Mungkin karena sama-sama bekerja, jadi tidak ada waktu untuk berduaan. Berdua di dalam kereta bisa dimanfaatkan untuk saling berbagi kemesraan dan perhatian. Kalau sudah sampai rumah, pasti urusan dapur dan si kecil begitu menyita perhatian.

Sesekali sang lelaki membisikkan sesuatu. Tak jelas apa yang kemudian mereka perbincangkan. Kondisi kereta yang panas membuat penumpang gaduh dan menghamburkan keluh. Kipas angin di langit-langit kereta, hanya terdiam memandang wajah-wajah yang bercucuran peluh.

Tiba-tiba, perempuan ini menegakkan kepala dan sedikit merenggangkan tubuh. Tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam tas. Tak lama, sebuah telepon genggam menyita perhatiannya. Jemarinya fasih menulis serangkaian pesan. Mataku tidak sengaja ikut membaca rangkaian huruf yang bermunculan.

"Pah, ibu masih di kereta. Baru nyampe Pasar Minggu."

Mataku terkesiap seperti tubuh penumpang atap yang tersengat listrik tegangan tinggi. Pikiran buruk berhamburan seiring gambar amplop terbang pertanda pesan terkirim. Apakah "Pah" kependekan dari "Papah". Apakah pesan pendek itu untuk suaminya yang entah berada di mana? Lalu siapa gerangan lelaki yang berada di sampingnya? Teman kok mesra sekali.

Hembusan angin dari celah jendela seketika menampar kesadaran. Aku tidak boleh berburuk sangka. Bisa saja perempuan ini memanggil ayahnya dengan Papah. Mungkin saja pesan itu untuk Ipah, pembantu rumah tangganya.

Sekarang mataku menduga jawaban apa yang akan menggetarkan telepon genggam. Tapi perempuan ini lebih memilih memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas. Kemudian dia kembali menyandarkan kepalanya pada bahu sang lelaki.
Menjelang Stasiun Universitas Indonesia sang lelaki kembali membisikkan sesuatu. "Hati-hati ya," kata perempuan ini mengiringi langkah sang lelaki menyibak tubuh-tubuh menuju pintu keluar.

Perempuan ini sekarang berdiri sendiri sambil menatap jendela kereta. Langit mulai gelap. Sebentar lagi malam menyergap. Kereta terus berderak tanpa memedulikan tingkah laku penumpang yang berada di perut dan punggungnya.

PIJAT REFLEKSI

Stasiun Depok Lama menjadi salah satu titik awal perjalanan kereta listrik. Dari Depo tak jauh dari Stasiun Depok Lama, kereta datang dalam keadaan kosong melompong. Penumpang yang sudah menunggu kereta di peron berpeluang mendapat tempat duduk. Bagi penumpang kereta listrik, mendapat tempat duduk merupakan kemewahan tersendiri.

Jika menunggu kereta listrik yang datang dari Bogor, mustahil mendapat tempat duduk. Mendapat tempat berdiri di dalam kereta saja sudah lumayan. Apalagi kalau menunggu kereta listrik kelas ekonomi. Kereta datang dengan penuh sesak. Pintu dan atap kereta sudah penuh dengan penumpang. Bisa memasuki kereta butuh siasat, keberuntungan dan kesigapan. Lengah sedikit, secuil kesempatan bisa diserobot orang.

Di lambung kereta pun, perjuangan tak lantas usai. Tubuh harus bertahan menyeimbangkan badan dari desakan penumpang di stasiun berikutnya. Dalam kondisi yang sesak dan panas, penumpang seperti mendapat pengobatan alternatif gratis: mandi sauna, pijat refleksi, bercampur kecut aroma terapi alami. Sebelum sampai di tempat kerja, badan terasa lelah, pegal dan bau naga. Pakaian rapi menjadi kusut.

Sudah lima hari aku terhindar dari kondisi seperti itu. Kereta dari Depo Depok telah menolongku. Walaupun tidak mendapat tempat duduk, aku bisa berdiri nyaman di sudut kereta. Seperti hari sebelumnya, aku masuk ke dalam kereta nomor dua. Kukenali wajah-wajah yang berada di dalam kereta. Jika naik kereta pada waktu yang sama, maka kemungkinan besar kita akan bertemu dengan orang yang sama pula.

Seorang lelaki kulihat duduk di bangku, yang berjarak satu meter dari tempatku berdiri. Seperti hari kemarin, ia sedang menikmati hasil kerja keras berebut tempat duduk dengan penumpang lain. Lelaki itu sudah memulai hari dengan keberuntungan.

Pukul 07.00 WIB, kereta listrik mulai bergerak meninggalkan Depok Lama. Kurang lebih tiga menit perjalanan, kereta mulai melambatkan jalannya. Penumpang di stasiun Depok Baru sudah membentuk pagar betis, berjajar rapi di pinggir peron.

Begitu laju kereta terhenti, puluhan orang langsung menyerbu pintu-pintu. Di dalam kereta, penumpang masih harus berebut mencari posisi. Seorang perempuan dengan napas terengah masuk dan langsung menaruh tas di atas paha lelaki itu. Sepertinya mereka berteman akrab atau mungkin sepasang kekasih.

Lelaki itu mengambil sebuah kursi lipat di dalam tas. Benda kecil itu dibuka dan diletakkannya di lantai kereta. Tanpa menunggu perintah, si perempuan duduk di atas kursi lipat menghadap lelaki itu. Mereka bercakap-cakap sebentar.
Tak lama kemudian, lelaki itu memegang jemari tangan perempuan itu.

Sepertinya mereka memang sepasang kekasih. Aku menjadi tertarik untuk lebih lanjut memperhatikan mereka. Jika seorang lelaki memegang tangan kekasihnya seperti itu, pasti ada hal serius yang akan disampaikannya. Mungkin lelaki itu akan melamar perempuan itu. “Maukah kamu menikah denganku?"

Betapa romantisnya melamar kekasih di tengah kereta yang lumayan penuh dengan penumpang. Pasti akan menjadi momen dramatis tak terlupakan. Sayangnya momen yang kutunggu itu tidak terjadi. Si lelaki itu justru sibuk memijati tangan perempuan itu. Dari caranya memijat terlihat bahwa dia sangat piawai.

Aku juga sering mengalami pijatan ketika kereta sesak. Sikut orang yang berada di belakangku sering menekan punggung. Tapi itu jelas pijatan yang sama sekali tidak mengenakkan. Badan malah menjadi sakit.

Karena adegan lamar-melamar tidak terjadi, aku berharap semoga ada percakapan romantis di antara keduanya yang bisa mewarnai perjalanan pagi ini. Namun, percakapan mereka di luar dugaanku.

“Istrimu sudah sehat?"

“Sudah mendingan. Tapi masih perlu istirahat."

“Oh, syukurlah. Terus entar malam bagaimana. Batal dong nonton filmnya."

“Ya, jadilah, masak dibatalin."

“Sip lah kalau begitu. Kalau besok kan aku nggak bisa. Mas Bramantyo besok sudah pulang dari luar kota."

Percakapan dua insan itu membuat aku terhenyak. Pikiranku sibuk menduga-duga. Sementara, kereta terus berderak, membawa tubuh-tubuh yang di dalamnya memendam beragam kisah.


KAWIN PAKSA

Penumpang berhamburan keluar dari kereta listrik kelas ekonomi yang belum sempat mengatur napasnya seusai merapat di jalur dua Stasiun Depok Lama. Beberapa penumpang masih bertahan di dalam kereta, seolah mengacuhkan peringatan yang menggema di sekujur peron.

"KRL Ekonomi jurusan Tanah Abang yang berada di jalur dua tidak bisa melanjutkan perjalanan karena gangguan teknis. Kepada seluruh penumpang diharap untuk keluar dan menunggu KRL Ekonomi yang akan memasuki jalur satu. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya."

Peron seketika menjadi lautan manusia. Serapah, cacian, ratap pengemis, musik dangdut, teriakan asongan, dan berbagai macam suara menambah kusut suasana. Aku memilih untuk mengambil posisi di dekat jalur satu, menunggu kereta yang akan masuk.

Dari arah selatan, penampakan KRL Ekonomi mulai berderak memasuki jalur satu. Dari kejauhan sudah terlihat bagaimana sesaknya kereta tersebut. Penumpang bergelantungan di pintu-pintu dan memenuhi atap kereta.

Kereta yang padat merayap itu harus siap sedia diserbu lautan penumpang di peron. Kalau satu rangkaian kereta rusak, maka kondisi akan kacau. Penumpang akan kalap menyerbu kereta berikutnya. Tak peduli kelas ekonomi atau kelas lebih tinggi. Kondisi seperti ini diistilahkan penumpang sebagai kawin paksa.

Matahari sudah mulai menyengat, aku harus sigap berebut tempat. Kalau sampai terlambat, uang makan harian bakal melayang. Di saat-saat tanggal tua begini, hal itu tidak boleh terjadi.

Ketika kereta listrik menghentikan lajunya, aku pun bergerak sigap. Tak kupedulikan kesemrawutan arus keluar masuk penumpang. Tubuh rampingku berhasil menyelinap dan beradu cepat dengan penumpang lainnya. Kekuatan besar mendorong tubuhku merangsek hingga jauh ke dalam kereta.

Posisi tubuhku akhirnya terkunci di belakang lelaki bertubuh kekar. Dia seperti tidak memedulikan keadaan sekitar yang sudah seperti pepes ikan teri. Ibu jarinya asyik menjelajahi tombol-tombol telepon genggam. Semula aku tidak memedulikan pesan apa yang ditulisnya. Napasku masih tersengal, posisi berdiri tubuhku belum kokoh benar.

Tapi lambat laut, layar telepon genggam miliknya seperti lembaran koran yang terpampang mata. Sederet pesan yang ditulisnya sangat jelas terbaca.

"Aku menikahinya hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Aku tak pernah mencintainya."

Sebuah jawaban entah dari siapa seketika terbuka, "Memangnya kenapa?"

"Cinta sejatiku hanya untukmu."

"Jangan ungkit masa lalu. Keadaan kita sudah berbeda."

"Sebenarnya ini rahasia, tapi kamu harus tahu."

"Rahasia apa?"

"Pas malam pertama, ternyata istriku sudah tak suci. Aku sangat kecewa."

Kesadaranku seperti tersengat. Segera kualihkan pandangan pada langit-langit kereta. Kipas angin tua terlihat kepayahan mengusir keringat yang membasahi wajah-wajah. Pasti kipas angin itu sudah banyak menjadi saksi berbagai peristiwa di dalam kereta ini.

Ketika pandanganku kembali ke arah depan, percakapan di layar telepon sepertinya sudah usai. Kulihat lelaki itu menatap wallpaper telepon genggamnya. Seketika mataku terpaku menatap wajah anak kecil bermata bening yang sedang terkekeh lucu.

Roda kereta terus bergerak, mengantar tubuh-tubuh yang menggantungkan nasib pada kerasnya kehidupan ibukota.
------------------------------------------
Setiyo Bardono, lahir di Purworejo, 15 Oktober 1975. Beberapa cerpennya dipublikasikan di Femina, Sinar Harapan, Tribun Kaltim, Harian Seputar Indonesia, Story Magazine, Aneka Yes, kompas.com, krlmania.com, kabar-indonesia.com, dan Depokmetro.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar