Jangan Tidur di Kereta Listrik - Setiyo Bardono
(Cerpen ini dimuat di Radar Bekasi, edisi 9 April 2016)
“Bangun
Mas! Ada ibu hamil"
Aku
terperanjat. Suara seseorang terdengar keras menginterupsi lelap. Saat mata
terbuka, kudapati dua orang perempuan berdiri di hadapanku. Salah satunya ibu
hamil. Seketika aku merasa sangat bersalah.
"Maaf
Bu, silakan duduk."
Aku
lekas berdiri. Ibu hamil itu segera duduk. Ia mengucapkan terima kasih seraya
tersenyum. Kusapu pandangan ke sekujur kereta. Puluhan pasang mata menatapku
tajam. Derak roda kereta rel listrik (KRL) Commuter
Line terasa menggetarkan risau di hatiku.
Aku
bergeser mencari tempat berdiri yang lebih nyaman di persambungan. Kereta
listrik memelankan lajunya. Sebagai penumpang yang tiap hari naik KRL, aku bisa
mengenali stasiun tanpa harus membaca papan nama atau menunggu pengumuman.
Stasiun Lenteng Agung menyambut kedatangan kereta. Berarti sudah cukup lama aku
tertidur.
Sejak
aku terlelap di sinyal masuk stasiun Manggarai, kereta sudah melintasi sembilan
stasiun. Entah dari stasiun mana ibu hamil itu berdiri di depanku. Mudah-mudahan
baru satu atau dua stasiun saja. Ibu hamil itu mengusap perut buncitnya sambil
melemparkan seulas senyum ke arahku. Nampaknya ia tahu keresahan yang merajai
hati.
Aku
menangkupkan kedua telapak tangan di dada sebagai tanda penyesalan dan
permintaan maaf. Ibu itu mengangguk dan kembali tersenyum. Aku bernafas lega.
Aku berharap senyum itu sebagai sebuah pengertian yang ikhlas dari seorang ibu.
Semoga di lain kesempatan aku bisa tetap terjaga saat naik kereta.
---
oOo ---
Parah
gan! Ada ibu hamil berdiri, lelaki ini malah tidur pulas di TDP. Dasar lelaki
tak tahu diri.
Aku
terperanjat saat mengetahui peristiwa memalukan itu terpajang di jejaring
sosial. Rupanya ada penumpang yang diam-diam memotretku dan mengunggahnya di grup
facebook komunitas penumpang KRL.
Dalam
foto itu, nampak jelas diriku tertidur nyenyak di kursi prioritas dengan mulut
setengah terbuka. Parahnya, foto itu terunggah apa adanya. Tak ada upaya
memburamkan wajah atau dipotong agar tak tampak bagian kepala.
Di
sampingku duduk berjajar seorang anak kecil, ibu separuh baya, dan ibu memangku
balita. Sementara, seorang Ibu hamil berdiri di depanku. Di kaca tertempel
stiker bertuliskan Tempat Duduk Prioritas (TDP) dengan gambar simbol ibu hamil,
ibu membawa balita, manula, dan penyandang disabilitas.
Ratusan
komentar bernada sindiran, hujatan, umpatan, dan kalimat kotor lainnya memenuhi
layar telepon genggam. Hanya sedikit komentar yang bernada bijak dan
menyejukkan. Bibirku gemetar membacanya.
Semakin
lama komentar baru bermunculan. Semakin banyak pula yang menyebarkan fotoku.
Ah, tak lama lagi seluruh dunia akan mengetahuinya. Sebentar lagi dunia akan
menempelkan label di kepalaku sebagai lelaki yang tak peduli pada ibu hamil.
Jika besok aku naik KRL, pasti ada banyak penumpang akan mencibirku.
Ingin
sekali aku berkomentar, namun jemari tanganku bergetar hebat. Kulempar telepon
genggam ke atas bantal. Biasanya sepulang kerja, aku asyik menyelami dunia maya,
berbincang dengan pacarku, Nuraini atau bercanda ria teman-teman satu grup di
sosial media.
Malam
ini, dunia maya terasa kejam dan menakutkan.
---
oOo ---
"Tidur
di Kursi Prioritas, Lelaki Muda Tak Peduli Ibu Hamil"
Aku
terperanjat membaca artikel di media massa online. Foto yang terpajang sebagai
ilustrasi memenuhi layar telepon genggamku. Tanganku gemetar. Mataku tak
sanggup menatap kenyataan. Aku terduduk lemas di peron stasiun Depok Baru.
Seorang pria
tertidur pulas di KRL Commuter Line. Sementara, seorang ibu hamil berdiri bergelantungan
di depannya. Ibu hamil itu pasrah dan tak berusaha membangunkan sang pria.
Foto
itu persis sama dengan foto yang ada di grup facebook komunitas penumpang KRL. Mungkin
foto itu dicomot dari sana oleh penulis berita. Dalam media online, fotoku juga
diunggah apa adanya. Wajahku tidak diburamkan atau dipotong biar tidak
kelihatan.
Aku
merasa malu menatap foto diri dalam posisi seperti itu. Seumur hidup, ini kali
pertama fotoku termuat di media massa. Sayangnya bukan karena kilau prestasi,
tapi karena peristiwa yang membuat resah hati. Apa kata orang-orang dekatku
kalau mereka membaca berita ini.
Kondisi
itu berlangsung hingga seorang ibu menegurnya. Ibu tersebut baru masuk ke dalam
kereta di stasiun Tanjung Barat. Pria yang mengenakan kaos putih itu langsung
berdiri dan memberikan tempat duduknya.
Tak lama, berita ini pun terunggah
di grup facebook komunitas penumpang KRL. Seperti foto sebelumnya, komentar-komentar
sadis kembali bermunculan. Mulai dari otak yang pindah ke dengkul, lelaki yang
tidak peduli, hingga lelaki yang lahir
dari batu yang layak untuk “Disiram pakai
air got.” Ada juga yang komentar
bernada provokatif, “Penumpang tak tahu
diri, pantasnya dilempar saja dari atas kereta. Kapok lu masuk koran.”
Komentar
pun melebar kemana-mana hingga ada komentar yang merembet ke pemerintahan, “Mungkin pemerintah bisa mengambil kebijakan
agar wanita hamil bisa cuti 9 bulan, kasihan kalau di angkutan umum tidak dapat
tempat duduk.”
Membaca
ratusan komentar bernada menyalahkan dan menghujatku, jemari tanganku kembali
bergetar hebat. Aku tak kuasa mengetikkan satu hurufpun untuk membalas
komentar. Kemunculanku mungkin juga tidak akan membuat masalah jadi terang.
Bisa-bisa aku di-bullly
habis-habisan.
Tapi
aku bersyukur karena ada yang masih bisa berpikir jernih dan mengajukan
pertanyaan kritis. “Kalau ada penumpang
tertidur yang ditegur. Jangan cuma bisa motret saja.” Komentar itu ternyata
diamini juga oleh pembaca lain: “Iya tuh,
kok seisi kereta diam saja nggak ada yang menegur. Berarti sama juga tidak mau
peduli.”
Kata
orang bijak, selembar foto bercerita lebih dari seribu kata. Benar juga,
buktinya selembar fotoku mengundang lebih dari beragam komentar. Padahal
peristiwa yang diabadikan dalam selembar foto punya hubungan dengan peristiwa
sebelumnya. Tapi bagaimana aku bisa memberi penjelasan pada mereka?
Aku
merasa diadili tanpa asas praduga tak bersalah?
---
oOo ---
Aku
sama sekali tak menyangka peristiwa sore itu berbuntut panjang. Padahal, tak
ada niatan sekalipun dalam hatiku untuk tidak peduli pada ibu hamil. Jika waktu
itu aku terjaga, pasti aku akan memberikan tempat duduk pada ibu hamil itu.
Namun, derak kereta serupa nina bobok yang membuai mata menyelami kantuk.
Sore
itu, aku sengaja pulang selepas ashar agar bisa lekas mengistirahatkan raga dan
pikiran. Sehari sebelumnya, pekerjaan menumpuk memaksakku menginap di gudang
kantor. Ada banyak berkas dan peralatan yang harus disiapkan untuk acara kantor
esok hari. Semalaman aku hanya tidur dua jam saja. Dari pagi hingga siang saat
acara berlangsung, aku masih harus wira-wiri untuk berbagai keperluan.
Dari
tengah malam hingga dini hari, Nuraini, pacarku beberapa kali mengingatkan agar
aku lekas istirahat. "Kalau diturutin, pekerjaan tidak akan ada habisnya.
Jaga kesehatan, Mas. Jangan lupa sholat dan makan."
Sore
itu suasana kereta rel listrik lumayan lengang. Namun semua kursi sudah terisi
oleh penumpang. Satu-satunya celah kosong ada di deretan tempat duduk prioritas.
Karena tidak ada ibu hamil, manula, orang tua membawa balita, atau penyandang
disabilitas, aku pun mendudukinya.
Apa
salahnya duduk di kursi prioritas selagi tidak ada penumpang prioritas yang
membutuhkannya? Toh, namanya juga prioritas bukan khusus. Jika di perjalanan
ada penumpang prioritas naik, aku akan segera bangun dan mempersilakannya
duduk.
Rupanya
niat baikku terkalahkan oleh kantuk. Guncangan kereta menghipnotis kesadaranku.
Akupun terlelap dalam kereta. Entah berapa stasiun. Entah sudah berapa orang
naik dan turun. Hingga suara keras seorang ibu membangunkan,
“Bangun
Mas! Ada ibu hamil"
Sekarang,
pembelaan apa yang harus aku lakukan. Jejaring sosial di dunia maya telah
menghakimi, tanpa memberi kesempatan bagiku untuk membela diri. Aku seperti
orang yang disangka maling, tertangkap digebuki massa tanpa diberi kesempatan
untuk bicara. Padahal aku tidak mencuri apa-apa.
Sekarang
persoalan yang lebih penting adalah meyakinkan pacarku. Nuraini. Karena aktif
di jejaring sosial, Nuraini mengetahui peristiwa itu. Ia menyesalkan sikapku
yang tidak mau peduli dengan ibu hamil. Tragisnya, ia langsung minta putus
hubungan, dengan alasan, “Kalau sama ibu hamil saja tidak peduli, bagaimana
nanti kalau kita menikah dan aku hamil?”
Tak
hanya itu, aku juga harus mencari cara bagaimana meyakinkan emak dan
saudara-saudaraku di kampung. Entah siapa yang menunjukkan foto itu padanya. Siapa
pun, harusnya dia berpikir bagaimana perasaan emak waktu melihat fotoku. Tiga
hari sejak peristiwa dimuatnya foto itu, emak menelpon sambil menangis.
“Emak
lihat kamu masuk koran pas naik kereta. Lha kok fotonya seperti itu? Emak malu
sama tetangga.”
Akhir
pekan nanti aku bertekad untuk pulang kampung. Aku harus berbicara dan
menyakinkan emak kalau aku tidak salah. Biarlah semua orang menghukum dan
menuduhku, yang penting emak percaya kalau aku sama sekali tidak bersalah.
Roda
kereta terus berderak tanpa mempedulikan kerisauan hatiku. Aku merapatkan topi
dan masker. Semenjak peristiwa itu, topi dan masker menjadi pelindung wajah
dari pandangan penumpang kereta. Aku takut ada orang yang mengenaliku sebagai
lelaki yang ada dalam foto itu. Lelaki yang tak peduli pada ibu hamil.
Agar
kalian tidak mengalami persoalan seperti ini, aku hanya bisa berpesan: “Jangan
tidur di kereta listrik!”
---
oOo ---
Depok, 10
Oktober 2015
*SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim
di Depok, Jawa Barat. Bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam).
Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering
Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi
Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta
(eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin
Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh
Kaku (Penerbit Senja, 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar